Wednesday, December 9, 2009

Cerpenku: "Elegi Marsani"


Marsani duduk bersandar di tembok stasiun. Punggungnya menempel dinding lembab sebelah WC umum. Sebuah keranjang bambu serupa bakul besar ia letakkan persis di depannya. Mulut bakul bambu ini masih disambung lembaran karton bekas dus air mineral yang ia susun secara melingkar agar lebih banyak lagi menampung puluhan bahkan ratusan buah mangga. Tangan kurus lelaki paruh baya itu tak henti meraih satu-persatu buah mangga, mengelapnya dengan kain kumal dan menyusun kembali di dalam bakul. Sinar matahari menjadikan kulitnya semakin legam saja. Kuku jari tangannya meghitam dan kusam, beberapa bekas luka sayatan masih terlihat dengan jelas di situ. Otot-otot di jari tangannya menonjol tak beraturan seperti varises di betis kaki perempuan yang habis melahirkan. Secara fisik penampilannya jauh lebih tua dari usianya. Tangannya tampak sedikit gemetar saat memegang buah mangga yang besar. Ditimangnya buah itu sesaat. Seperti sedang menaksir nilainya sebelum ia letakkan kembali di dalam bakul. Seulas senyum pun mengembang di sepasang bibir kehitaman. Harapannya semoga pembeli memberi nilai lebih bagi buah-buah yang ia jajakan.

Mulut Marsani mengeluarkan bunyi decakan pelan. Mungkin saja ekspresi sebuah keluhan, meskipun ia berusaha untuk tidak mengeluh sejauh ini tetapi ekspresi itu keluar secara spontan tanpa disadari. Kabut di mata cekungnya jelas memperlihatkan kegundahan hati. Sorot matanya yang sayu bercahaya redup menatap penuh harap berpasang-pasang kaki lalu-lalang di depannya yang terkadang berjalan pelan, kadang setengah berlari atau berhenti sama sekali. Suatu pemandangan sehari-hari yang datar dan begitu ia hapal, bahkan derap langkah itu seperti ritme musik yang selalu menemani hari-harinya, mengendap di kepala dan terbawa di dalam mimpinya. Di dalam hati ia selalu berharap ada banyak langkah kaki berhenti di depannya, melihat buah-buah dagangannya, menawar dan akhirnya memborong habis semuanya. Ia berhasrat bisa pulang secepatnya dan menghabiskan sisa hari bersama istri dan putri semata wayangnya. Tetapi tetap saja kaki-kaki itu sekadar melintas di depannya. Tak peduli sekeras apa ia berteriak menawarkan dagangannya, tumpukan buah di depannya tetap menggunung dan kembali diselimuti debu. Sudah separuh hari dilaluinya namun belum ada satu pun calon pembeli yang datang menghampirinya

Semenjak otot kakinya terasa nyeri untuk berjalan, Marsani memutuskan berhenti mengasong secara berpindah-pindah. Ia memilih berjualan di satu tempat saja tanpa harus berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, dari kereta satu ke kereta lainnya, dari gerbong satu ke gerbong lainnya, dari peron satu ke peron lainnya. Kondisi fisik tak memungkinkannya bersaing dengan pengasong yang lebih muda yang tentu saja lebih kuat tenaganya. Belum lagi kondisi kereta ekonomi sekarang yang jauh lebih padat dibandingkan dahulu. Jangankan untuk berjalan, bisa berdiri dengan tegak saja susahnya bukan main. Celakanya para petugas kereta pun tak segan-segan menyita barang dagangan apabila mereka berhasil menangkap para pengasong itu. Orang-orang ini semakin menambah pederitaan para pengasong yang kurang gesit menghindari kejaran. Bagi orang dengan kondisi seperti Marsani, KRL adalah sebuah harapan sekaligus pil pahit. Meski pun getir, tetap harus ia telan juga. Bagaimana pun juga rejeki harus diperjuangkan meski harus berebut dengan pedagang lain yang lebih gesit. Dalam hatinya ia yakin Gusti Allah selalu adil membagi rejeki kepada hamba-hambaNya yang mau berusaha.

Selama ini Marsani telah mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan penyakitnya. Segala bentuk pengobatan telah ia coba, mulai dari yang medis sampai pengobatan alternatif. Dokter Puskesmas di kecamatan pernah menyatakan bahwa kandungan asam di darahnya tinggi, di atas 7 mg% katanya. Untuk itu ia harus berpantang makanan seperti jenis kacang-kacangan, makanan laut seperti udang, kerang, cumi dan sebagainya. Dokter pun memberikan resep obat yang harus ditebus di apotek karena stok obat generik di Puskesmas telah kosong. Harganya tentu saja jauh lebih mahal. Awalnya memang berkurang rasa nyerinya, tetapi begitu obat habis, rasa nyeri di kakinya kambuh lagi. Bagi seorang pengasong seperti dia, pengobatan medis meskipun lewat Puskesmas tetap sangat menguras isi kantongnya, sehingga Marsani harus mencari alternatif lain yang lebih terjangkau. Beberapa tetangga menyarankan untuk mencoba cara alternatif dengan meminum ramuan herbal seperti rebusan daun salam dan banyak istirahat, tetapi sejauh ini anjuran tersebut tidak banyak manfaatnya. Bagaimana pun juga ia harus mengasong agar dapur rumah-tangganya tetap mengepul meski harus menahan rasa nyeri di kaki. Bila rasa nyeri itu datang, ia hanya bisa meringis menahan rasa sakit yang luar biasa sambil tangannya mengusap bagian yang sakit itu. Sedikit pun tak terlintas di hatinya untuk meratap terlebih menyalahkan Gusti Allah atas penderitaan yang menimpanya. Segalanya ia terima dengan hati ikhlas.

Sebuah kereta masuk di jalur satu dengan kecepatan tinggi. Roda-roda besi berputar menggilas rel dengan suara berderak-derak mengerikan setiap kali melindas sambungan besi panjang itu. Putaran roda-rodanya semakin berkurang kecepatannya karena jepitan rem yang terus mencengkeram cakram raksasa. Dari sela-sela antara roda bagian bawah yang menempel dengan rel keluar percikan bunga api seperti mesin gerinda. Kereta akhirnya berhenti dengan suara berdecit disusul bunyi desisan panjang mirip suara tarikan nafas seseorang sehabis berlari sprint. Penumpang turun saling berebut paling dulu. Mereka berhamburan melalui pintu yang tidak sepenuhnya bisa dibuka. Saling dorong saling sikut, seperti tipikal manusia Indonesia pada umumnya. Seorang perempuan gemuk berseragam coklat-coklat memaki dengan kasarnya. Sebuah dorongan dari belakang membuatnya terjerembab jatuh di atas lantai peron stasiun. Sebelah sepatunya terinjak kaki orang dan jatuh di kolong kereta. Ia pun harus menunggu kereta berjalan meninggalkan stasiun terlebih dahulu sebelum bisa mengambil kembali sebelah sepatunya. Marsani memerhatikan kejadian demi kejadian dengan tatapan datar. Hampir setiap saat ia melihat kejadian yang nyaris sama seperti itu. Orang berebutan naik atau turun. Orang terdorong dan jatuh. Bahkan orang memaki dan diteruskan dengan baku pukul. Seperti itulah denyut kehidupan di stasiun berlangsung setiap hari.

Berpuluh-puluh, bahkan beratus pasang kaki berjalan tergesa-gesa di depan Marsani. Seseorang sempat menyenggol ujung atas bakul dagangannya hingga mengakibatkan sebuah mangga jatuh menggelinding. Untung saja tidak terinjak kaki-kaki itu. Marsani menahan diri untuk tidak mengungkapkan rasa marahnya. Ia sadar kalau posisinya sangat lemah. Ia pun tahu kalau berjualan di peron adalah sebuah larangan, tapi baginya memang tak ada pilihan lain. Dipungutnya buah itu, diusapkannya ke kausnya yang kumal dan ia taruh kembali di tempat semula. Tanpa disadari seorang perempuan muda dengan anak kecil menggendong mobil-mobilan plastik telah berdiri di depannya, menatap buah dagangannya satu persatu dan memegangnya.

" Sekilo berapa bang?" Perempuan itu membuka percakapan.

" Biasa, teh...empat rebu rupiah saja. Kalau ambil 3 kilo boleh deh sepuluh rebu rupiah." Jawab Marsani dengan nada suara yang ramah.

" Mahal amat, bang...dua rebu aja ya?" Si perempuan menawar.

" Belum dapet, teh...belum balik modal." Suara Marsani mulai meninggi

" Ah, di atas kereta tadi dapet." Si perempuan mencari alasan sekenanya. Anak kecil di sampingnya terlihat gelisah tak sabar ingin segera pulang. Dengan sebelah tangan ia menarik-narik baju ibunya.

" Kagak dapat harga segitu, teh...apalagi ini mangga Harumanis asli... besar-besar, manis lagi. Kalau tidak percaya nih teteh coba..."
Tangan Marsani meraih sebuah potongan mangga kemudian menyodorkannya ke arah perempuan itu. Marsani mencoba tetap bersabar menghadapi calon pembeli dagangannya.

" Dua setengah dah..." Si perempuan masih belum menyerah. Anak kecil di sampingnya mulai mengeluarkan isak tangis tertahan.

" Udahlah saya turunin jadi tiga setengah, silakan tinggal dipilih." Kata Marsani sambil mengeluarkan kantung plastik hitam dari balik keranjang.

" Kagak mau, kalau boleh ya segitu...kalau nggak boleh, mending beli di atas kereta! " Kali ini si perempuan menjawab ketus sambil berjalan tergesa-gesa meninggalkan Marsani yang terbengong-bengong. Tangannya bergerak menjewer kuping anaknya dengan ekspresi penuh kekesalan. Perempuan itu pun berlalu tanpa menoleh ke belakang lagi diikuti anaknya yang berlari terseok-seok mengikuti langkah kaki ibunya yang berjalan seperti kesetanan. Jerit tangisnya sayup-sayup masih terdengar di antara hiruk pikuk stasiun.

Marsani menghela nafas panjang. Tangannya tak henti mengusap dadanya yang kerempeng. Berkali-kali ia mengucapkan istighfar serta memohon diberikan kesabaran seluas-luasnya. Ternyata memang tidak mudah mencari rejeki secara halal. Untuk mengumpulkan uang seribu-dua ribu rupiah saja ia harus menahan diri dari segala hal yang menyakitkan hatinya. Padahal seringkali harga dirinya pun ikut direndahkan. Begitulah seribu satu watak manusia yang sangat berbeda antara satu dengan lainnya yang suka atau tidak harus ia hadapi. Di stasiun itu ketabahan hatinya benar-benar diuji.

Suara tangisan anak kecil tadi membawa ingatannya kepada anaknya di rumah. Seorang gadis kecil berumur 6 tahun yang lagi senang-senangnya bermanja di pelukan orang tuanya. Sebuah percakapan tadi malam begitu melekat di benaknya. Ia ingat betapa anak itu merengek-rengek minta dibelikan seragam polisi seperti yang telah dikenakan teman-teman TK-nya. Ya, sekadar seragam polisi saja yang dimintanya yang bagi orang tua lain begitu mudah mengabulkannya. Tetapi tidak buat Marsani. Uang hasil jualannya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari serta buat modal jualan hari berikutnya. Mengutang ke orang lain tak mungkin ia lakukan karena hutang yang dulu saja belum bisa ia lunasi. Satu hal yang bisa ia lakukan hanya membujuk anaknya agar bersabar. Berkali-kali sudah Marsani membujuk putri semata wayangngya yang mengancam mogok sekolah, agar mau menunggu uangnya terkumpul dulu.Tapi memang tak mudah membujuk seorang anak kecil. Alih-alih bisa ikut merasakan kesulitan yang dihadapi orangtuanya, sekadar memahami kata-perkata yang keluar dari mulut orang dewasa saja sangat sulit buat anak seusia itu. Padahal jauh di lubuk hati, Marsani justru berharap agar buah hatinya tak ikut menanggung beban yang ia rasakan. Biarlah orang dewasa saja yang menanggung penderitaan ini. Malam semakin menua, tubuh mungil gadis itu terkulai di pelukannya. Tertidur pulas karena kelelahan mengharap sebuah keinginan yang belum terwujud. Setetes air mata jatuh mengalir membasahi pipi berpoles bedak tak rata. Marsani mengusapnya dengan lembut, menatap wajah polos di depannya dalam-dalam. Hatinya terasa pedih, seperti disayat tajamnya mata pisau. Dibopongnya tubuh itu dan diserahkan ke istrinya yang segera membaringkannya di kasur lembab. Sebuah ikat rambut berwarna merah muda hasil ngutang dari si Narno temannya sesama pengasong di stasiun, terlepas dari rambut ikal anaknya dan terjatuh di lantai. Dipungutnya benda itu dan ditaruhnya kembali di atas meja kecil dekat tempat tidur buah hatinya. Di dalam hati ia bertekad untuk segera mewujudkan keinginan anaknya hari ini, tapi mungkinkah itu? Sedangkan sesiang ini belum satu pun buah dagangannya laku dibeli orang.

Pengeras suara di stasiun membuyarkan lamunan Marsani. Sebuah kereta listrik ekonomi AC berhenti, kali ini di jalur dua. Bunyi desisan keluar lagi. Pintu-pintu terbuka lagi, kali ini pintu hidrolik semi otomatis yang dikendalikan dari kabin masinis di ujung paling depan kereta. Udara sejuk segera keluar melalui pintu-pintu berwarna keperakan itu. Satu-dua orang penumpang keluar dan masuk gerbong.Tak seriuh tadi. Maklum saja, meskipun kereta ekonomi tetapi kereta ini dilengkapi dengan AC dan beberapa kipas angin dengan tarif yang lebih mahal hampir tiga kali lipat dibandingkan harga tiket kereta ekonomi reguler. Padahal pada jam-jam sibuk kondisinya tak lebih baik dari kereta ekonomi biasa, bahkan kadang-kadang malah lebih parah. Di dalam sebuah gerbong seorang perempuan setengah baya bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju pintu dan berdiri di sana. Tangannya melambai ke arah Marsani yang dengan sigap menangkap isyarat itu. Tanpa memedulikan rasa nyeri di kakinya diangkatnya keranjang dagangannya kemudian berlari menyeberang rel jalur satu ke arah perempuan yang memanggilnya.

Keranjang berisi penuh buah mangga itu ditaruhnya di ambang pintu, sementara ia tetap berdiri di atas peron yang jaraknya dengan lantai kereta sebatas pinggangnya. Tanpa menawar lagi perempuan itu memilih beberapa mangga dan memasukkannya ke dalam kantung plastik hitam yang telah dipersiapkan Marsani. Pengeras suara berbunyi lagi memberi isyarat agar kereta segera berangkat. Wajah Marsani mulai menegang, tetapi si perempuan tetap tenang, tak peduli dengan peringatan tadi, atau barangkali memang tidak mendengarnya. Tiba-tiba pintu hidrolik itu menutup, secara refleks Marsani menarik keranjang di depannya. Tetapi terlambat, pintu terlanjur menggencet keranjang dagangannya. Ia kerahkan seluruh tenaganya menarik keranjang itu. Tetap tak bergeming. Sementara kereta mulai berjalan, Marsani pun ikut berlari di sepanjang peron mengikuti putaran roda kereta yang semakin cepat diikuti tatapan sepasang mata perempuan setengah baya yang berdiri mematung di balik pintu dengan wajah pucat pasi. Orang-orang di peron menatapnya was-was bahkan sebagian telah mengeluarkan jeritan penuh kengerian. Di atas kereta beberapa lelaki ikut membantu mendorong pintu dengan panik. Tetapi usahanya hanya menggerakkan pintu sedikit dan akhirnya kembali menutup lagi. Marsani tetap berlari menarik keranjang mangganya yang tergencet, nyeri di persendian kakinya sudah ia lupakan. Baginya keranjang itu adalah harapan satu-satunya. Ia tak rela melepasnya meski resiko yang bakal ditanggungnya begitu besar.

Jarak Marsani dengan pagar besi pembatas peron tinggal beberapa meter. Beberapa detik lagi tubuh kerempeng itu akan membentur tiang besi di depannya, tiba-tiba ia merasakan kekuatan besar menarik tubuhnya ke atas. Marsani terlempar ke udara bersamaan dengan terlepasnya keranjang dari jepitan pintu. Ia melihat dirinya dan sekelilingnya bergerak dengan kecepatan sangat lambat, seperti layaknya adegan slow motion dalam sebuah film. Dengan sangat jelas matanya melihat keranjang buahnya melayang beserta isi-isinya yang berhamburan keluar. Berputar-putar di udara sejenak sebelum akhirnya mendarat di bantalan rel, di lantai peron bahkan jatuh tepat di bawah roda-roda besi yang tanpa ampun menggilasnya. Cipratan daging buah berwarna kekuningan ikut berhamburan di udara, sebagian menempel di kolong bawah gerbong.

Pemandangan sekitarnya seketika berubah menjadi putih menyilaukan. Marsani serasa berada di sebuah lorong panjang tak berujung. Sebuah siluet yang ia kenal betul gesturnya bergerak mendekatinya. Seorang anak perempuan berikat rambut warna merah muda, serta mengenakan seragam polisi wanita berlari menyongsongnya. Kedua tangannya terentang dengan sikap seperti hendak memeluk. Tangan kanannya memegang topi dengan gerakan seperti melambai. Mendadak semua rasa sakitnya menghilang. Tubuh Marsani terasa ringan, seringan hatinya yang kini diliputi kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia pun berlari dan terus berlari dengan kegembiraan meluap-luap layaknya anak balita yang baru bisa berjalan. Disongsongnya tubuh mungil di mana di sanalah segenap kasih sayang itu tercurahkan. Marsani tidak peduli lagi di mana gerangan dirinya kini. Tak sedetik pun ia merelakan kebahagiaan yang tengah ia rasakan ini terenggut begitu saja, karena bisa jadi kegelapan panjang akan segera menghampirinya. ***


Bojong Gede, Desember 2009

Monday, November 30, 2009

Rumah Darah (Bagian I)

Ini adalah sebuah kisah tragis dan mengerikan yang pernah terjadi di suatu pinggiran sebuah kota di Jawa Barat. Nama kota dan daerah sengaja tak ditulis untuk menghindari stigma buruk yang mungkin terjadi. Beberapa tokoh dan jalan cerita sengaja dibuat untuk tujuan dramatisasi tanpa mengurangi bobot cerita asli.


***************


Padang ilalang di sebuah bukit dalam balutan senja temaram. Angin basah bertiup semilir tertusuk rinai gerimis yang mulai menetes dari langit. Jutaan butiran halus air berloncatan ke bawah tiada henti membasahi dedaunan, tanah, bebatuan dan segala yang ada di atas punggung bumi. Tiba-tiba malam mengusir dengan paksa senja dari singgasananya yang tak berumur lama. Dan kegelapan pun segera bertahta, menguasai hamparan tanah berkontur perbukitan itu.

Langit kelam tanpa bintang. Mendung tebal telah menutup dengan sempurna cahaya dari angkasa. Hamparan tanah berbukit itu kini menjelma menjadi sebentuk siluet hitam menyeramkan. Pendar-pendar cahaya lampu memancar dari celah-celah ilalang, pertanda adanya sebuah kehidupan di balik punggung bukit. Di situlah terhampar suatu permukiman penduduk yang tidak terlalu padat, berupa deretan rumah-rumah sederhana yang membentuk blok-blok. Para penghuni rumah-rumah ini umumnya berasal dari golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan orang-orang yang lebih mampu secara ekonomi tetapi lebih senang tinggal di daerah pinggiran yang masih hijau dan sejuk udaranya. Tampak dari jauh kerlap-kerlip cahaya lampu rumah sederhana itu seperti kunang-kunang di malam hari.

Sebuah jalan beraspal menghubungkan permukiman ini dengan “dunia luar.” Jalan yang jauh dari kesan mulus, karena sebagian besar aspalnya telah terkelupas di mana-mana meninggalkan lubang menganga dan menampakkan butiran batu koral yang telepas dari ikatannya. Semak belukar berupa tanaman perdu dan ilalang tumbuh dengan liar di tepi jalan. Sebagian tanaman itu menutup tepian jalan yang tak terlalu lebar sehingga terasa semakin sempit. Jalan ini sangat gelap di malam hari karena tanpa lampu penerangan sama sekali. Nyaris tak ada bangunan berdiri di tepi jalan, hanya hamparan lahan kosong dan semak ilalang. Suasananya terasa menyeramkan terlebih bagi yang baru pertama kali melintas di malam hari, besar kemungkinan ia tak akan pernah mau lagi menjamah tempat ini untuk yang kedua kalinya. Beberapa sopir taksi yang pernah mengantarkan penumpangnya kemari selalu menolak dengan halus apabila ditawari order yang sama.

Jalan beraspal berakhir ketika bertemu dengan sebuah gerbang yang menandai pintu masuk komplek permukiman. Gerbang itu berupa tiga pilar utama terbuat dari batu bata dengan ujung atasnya berbentuk piramida. Dua pilar berdiri di dua sisi jalan berseberangan yang masing-masing memiliki pasangan sebuah pilar kecil dihubungkan oleh sebuah tembok berlubang-lubang vertikal dengan lengkungan di sisi atasnya. Pilar yang satu lagi berdiri di tengah-tengah, membagi jalan masuk menjadi 2 jalur. Sebuah jalur hijau yang ditumbuhi alang-alang memisahkan dua jalan masuk itu.

Pemandangan jalan beraspal berubah menjadi susunan paving blok yang kondisinya sudah tak rata lagi. Permukaan batu cetak campuran antara semen dan pasir itu telah terkikis oleh cuaca dan di beberapa bagian amblas ke dalam tanah sehingga membentuk cekungan berisi air hujan. Tetapi dibandingkan jalan aspal sebelumnya, kondisi jalan paving blok ini masih jauh lebih baik, meskipun bergelombang namun tidak berlubang.

Lampu penerangan jalan yang berada di atas jalur hijau itu telah lama mati. Tiang-tiang betonnya masih tegak berdiri meskipun ada juga yang sudah condong seperti hendak roboh. Lampu bohlamnya pun masih terpasang di tempatnya, tetapi sudah tak berfungsi lagi. Hanya lampu –lampu rumah dan bangunan tempat usaha yang berdiri tidak jauh dari jalan ini masih “berbaik hati” menyisakan sedikit cahayanya di atas permukaan jalan.

Hamparan tanah lapang berbentuk lingkaran menjadi “alun-alun”nya komplek permukiman ini, meskipun sejatinya diperuntukkan sebagai taman dan ruang hijau. Sebuah pohon Banyan tumbuh tepat di tengah-tengah, di antara hijau rumput yang botak di beberapa bagian. Satu dua pohon palem masih mampu bertahan tumbuh di tepi lingkaran.Yang lain telah lapuk dimakan rayap atau kering terkena sambaran petir. Beberapa lampu taman berbentuk bulat pernah terpasang di sini, namun sekarang tak tersisa sama sekali. Bola kacanya telah lama hancur akibat ulah tangan-tangan iseng. Tiang berupa pipa besi pun telah raib, barangkali telah berubah menjadi besi kiloan di tangan pemulung. Suasana di sini amat temaram di malam hari, sebuah suasana yang sepertinya memang diinginkan oleh segelintir orang.

Di tempat inilah aktivitas warga berlangsung. Waktu sore hari dalam kondisi cuaca yang cerah terlebih pada liburan akhir pekan, “alun-alun” ini begitu ramai. Para pedagang mendirikan tenda melingkar mengelilingi taman. Para orang tua membawa anak-anak mereka jalan-jalan sore sambil menikmati jajanan. Beberapa anak muda bergerombol duduk-duduk di atas rumput di bawah pohon Banyan sambil bercengkerama. Sebagian lagi duduk berpasangan memisahkan diri, cenderung mencari tempat yang sepi. Tetapi suasana malam ini tidak seperti biasanya. Gerimis yang turun sejak sore tadi membuat warga lebih memilih mengurung diri di balik tembok batako rumah. Sebagian diantaranya malah telah terlelap dibuai mimpi. Karena sepi pembeli, para pedagang pun memilih menggulung tendanya lebih awal, merapikan dagangannya dan berkemas pulang. Tanah lapang itu kini terlihat semakin lapang dan sepi. Sesekali kilatan cahaya langit menerangi rimbun dedaunan pohon Bayan membentuk bayangan hitam di rerumputan sekitarnya dalam sekejap, kemudian gelap lagi..

Tak jauh dari lapangan berbentuk lingkaran dengan melewati jalan yang aspalnya nyaris tak tersisa, ada sebuah gang dengan portal besi tertutup sepanjang hari. Saking jarang orang dan kendaraan melewati gang ini menjadikan permukaan jalannya ditumbuhi lumut karena lembab. Sebuah bukti nyata sifat ambigu manusia. Di satu sisi mereka memerlukan akses jalan untuk lewat tetapi mereka juga yang sengaja menutupnya.
Guguran daun bambu kering terbawa angin dari rumpun bambu di sekitarnya berserakan tak tersentuh sapu lidi. Tak jauh dari portal besi ini berdiri sebuah pos ronda seluas 2X2 meter beratapkan lembaran asbes, berlantai semen dengan sebuah tikar plastik yang telah berlubang karena satu per satu ikatan anyamannya mulai terlepas. Sebuah suasana dingin dan senyap langsung menyergap sejak pertama kali langkah kaki memasuki wilayah ini.

Seorang lelaki berperawakan sedang dengan tubuh agak kurus duduk sendirian di dalam pos ronda. Sebatang rokok kretek terselip di jari tangan kanannya. Hembusan asap putih keluar dari mulut dan hidungnya membumbung naik ke langit-langit seperti asap knalpot. Ruangan 2X2 meter itu kini berselimut kabut tipis asap rokok. Perlahan-lahan kabut itu lenyap tersapu hembusan angin dari kisi-kisi jendela. Ruangan memutih lagi ketika asap dihembuskan, kemudian lenyap lagi terbawa angin malam. Begitu seterusnya.

Menilik rambut yang mulai berwarna keperakan serta banyaknya kerutan-kerutan menghias wajahnya, pastilah ia seorang lelaki paruh baya. Usianya memang telah melewati setengah abad, usia yang tak ideal lagi bagi seorang dengan profesi penjaga malam seperti dirinya.. Tetapi dengan sedikit alternatif pekerjaan yang tersedia, maka tak ada pilihan lain bagi wak Asep (demikian orang memanggilnya) harus berlapang dada menerima profesi ini. Di saat orang lain terlelap dalam balutan selimut hangat, ia harus rela menahan rasa kantuknya sepanjang malam demi menjaga lingkungannya tetap aman. Padahal resiko yang ditanggungnya sangat tak sebanding dengan honor yang ia terima.

Malam semakin menua dengan gerimis yang tak kunjung reda. Suara-suara manusia telah lenyap teredam tebal tembok rumah mereka. Yang tertinggal hanya desau angin di sela-sela rumpun bambu diiringi nyanyian jengkerik dan kodok di selokan. Gesekan batang bambu beradu menimbulkan jeritan nan memilukan, ngilu terasa di hati. Tetes air di atas asbes bagaikan sebuah irama monoton, hanya volumenya saja yang berubah. Kadang keras, kadang pelan tergantung dari frekuensi dan volume air hujan yang mengguyur.

Wak Asep melirik jam butut di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam beserta angka-angkanya telah lenyap, tertutup embun yang menempel di kaca bagian dalam. Untuk menguapkan butiran embun, ia gosokkan telapak tangannya ke permukaan kaca. Akibat hangat yang ditimbulkan dari gesekan kulit dan kaca, sedikit demi sedikit terlihatlah angka-angka di balik kaca jam tangannya.

“Ah…sudah jam setengah dua belas rupanya. Sebentar lagi waktunya keliling.” Ia menggumam perlahan.

Kepalanya melongok ke arah gang berharap masih ada warga yang terjaga untuk menemaninya main catur atau kartu domino bila jumlahnya memungkinkan. Atau paling tidak ada teman ngobrol sebagai pengusir rasa kantuk yang sering menyerang di saat seperti ini. Tapi gang itu tetap senyap. Siluet manusia yang ia harapkan muncul dari balik tikungan dan menghampiri pos rondanya tak pernah terwujud. Sinar lampu neon di tikungan hanya menampilkan garis-garis vertikal bening air hujan yang jatuh, meliuk-liuk terbawa angin, layaknya rambut perempuan.

Sayup-sayup terdengar lolongan anjing dari arah kampung yang jauh. Suaranya menyeramkan, menimbulkan efek kengerian bagi siapa pun yang mendengarnya.

“Malam yang aneh, kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tak enak ya?” Kembali wak Asep menggumam, melontarkan sebuah pertanyaan kepada dirinya sendiri.

Nada kuatir terdengar dari suaranya yang tercekat. Ia merasakan suasana berbeda dibandingkan malam-malam sebelumnya. Kakinya terasa lemas untuk berdiri dan menopang badannya. Kelopak mata dirasakannya berat untuk selalu terbuka dan terjaga. Berkali-kali mulutnya terlihat menguap tanpa bisa ditahan lagi padahal sudah segelas kopi ia habiskan. Sebuah puntung rokok ia matikan. Itulah batang rokok ke-4 yang sudah ia hisap sejak ia datang kemari, padahal malam baru hendak mencapai separuhnya. Lantai ubin di ruangan sempit itu kini tampak kotor oleh abu dan puntung rokok berserakan. Sebenarnya kalau mau bisa saja ia tinggalkan pos ronda ini kemudian pulang ke biliknya. Melarikan diri dari rasa takutnya dan bersembunyi di balik selimut kumalnya, tetapi tanggung jawab terhadap tugas melarangnya melakukan tindakan tercela itu. Baginya pantang mengkhianati tugas yang diamanahkan kepadanya meskipun tak sepadan dengan imbalan yang ia terima. Itulah sifat keteladanan yang dicontohkan justru oleh seorang penjaga malam sebuah kampung kecil di pinggiran sebuah kota.

Wak Asep berusaha bangkit dari posisi duduknya, meraih jas hujan berwarna kuning yang tergantung di tembok merah tanpa plesteran kemudian mengenakannya. Andai saja ia tak segera berdiri, bisa jadi malah ketiduran di sini. Padahal umumnya suasana malam disertai gerimis rintik-rintik seperti saat ini paling rawan tindak kejahatan. Tanggung jawab yang besar mengalahkan kondisi fisik dan mentalnya. Diliriknya kalender berdebu di belakang pintu. Hari ini hari Kamis tanggal 12 dan segera akan memasuki Jumat dini hari.

“ Ah…baru nyadar kalau sekarang malam Jumat, pantas orang-orang pada malas keluar rumah.” Bisik wak Asep sambil menggelengkan kepala.

Tidak jelas adakah hubungan antara malam Jumat dengan kebiasaan menghindari keluyuran malam hari. Kenyataannya hampir tiap malam Jumat orang-orang di sini lebih senang berada di rumah daripada keluyuran malam-malam. Atau barangkali mereka melakukan apa yang disebut orang dengan istilah “Sunah Rasul,”sebuah istilah yang mengacu pada kegiatan intim pasangan suami istri di malam Jumat. Tidak jelas sejak kapan istilah ini begitu popular, menjadi topik perbincangan bahkan bahan olok-olok di antara orang-orang yang telah berumah-tangga.

Tangan kanan wak Asep menjangkau sebuah senter yang tergantung di dekat kalender, setelah itu ia tutup pintu pos rapat-rapat dan menguncinya dari luar. Ia mengambil sebuah tongkat kayu pendek dan memukul kentongan kayu yang tergantung di sisi kanan depan pos roda. Suaranya menggema di tengah kebisuan malam. Sekadar menjadi pertanda bahwa di kegelapan malam ini masih ada manusia yang terjaga. Ia melangkahkan kakinya meninggalkan pos dengan perasaan gamang. Degup jantungnya semakin meningkat frekuensinya. Lolongan anjing pun masih terdengar memilukan dari sebuah tempat nun di sana. Entah apa yang membuatnya begitu. Konon kata orang tua, lolongan anjing yang tiada putus di malam hari merupakan respon alamiah apabila ia mengindera sesuatu yang tak bisa diindera manusia. Melihat kehadiran sosok gaib, misalnya. Malam ini, langkah kaki wak Asep tengah membawanya menuju pengalaman yang tak akan pernah terlupakan di sepanjang sisa hidupnya.

(Bersambung)

Sunday, September 27, 2009

Catatan mudik lebaran 2009

Ribuan kendaraan bermotor berbaris mengular, membentuk antrian belasan bahkan puluhan kilometer panjangnya. Lebar jalan nyaris tak tersisa karena tertutup badan kendaraan membentuk 2 sampai 3 lajur berderet tak ada putusnya. Debu mengepul menutup pandangan mata juga menyesakkan dada akibat ulah pengendara motor bahkan mobil yang tak sabar antri yang melaju dari lajur kiri yang notabene berupa jalan tanah. Matahari tepat di atas kepala bersinar dengan garangnya memanggang tanpa ampun punggung bumi. Sementara sepotong awan menggantung malu-malu di langit biru tak kuasa menjadi payung bagi ribuan makhlukNya dalam perjuangan terakhir menaklukkan hawa nafsu di ujung Ramadhan yang suci ini.

Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa berat bagi sebagian besar umat muslim dalam rangka mengekalkan tradisi mudik, pulang kampung untuk menjalin silaturahmi dengan kerabat dan handai taulan. Mereka bukan hanya harus mengalahkan diri sendiri, tetapi juga kondisi lingkungan sekitarnya yang sangat berat untuk ditaklukkan. Di jalanan ganas itu muncul hukum rimba yang purba­, siapa kuat dialah yang bertahan, siapa cepat dialah yang lebih dulu mencapai tujuan bahkan mungkin kecelakaan yang berujung kematian.

Itulah sedikit gambaran tentang mudik lebaran kali ini. Walau pun sesungguhnya sudah aku prediksi sebelumnya, tetapi kenyataannya sungguh di luar dugaan. Pemudik kali ini benar-benar tumplek di hari dan waktu yang sama dikarenakan lebaran yang mepet dengan hari terakhir masuk kerja. Tidak seperti tahun lalu yang lebih longgar karena jarak awal liburan dengan hari H-nya cukup panjang sehingga waktu mudik tak terkonsentrasi di waktu yang bersamaan. Pada lebaran kali ini nyaris tak ada jalur yang longgar baik yang lewat Utara (Pantura), tengah (Subang) maupun Selatan (Nagreg).

Saat merencanakan waktu keberangkatan, aku sempat meminta pertimbangan dari beberapa teman yang pernah memiliki pengalaman mudik sebelumnya. Seba
gian besar menyarankan untuk berangkat malam hari dengan pertimbangan umumnya para pengendara motor menghindari mudik pada waktu ini. Saran ini aku patuhi sehingga kami sekeluarga (aku, isteri dan 2 orang anak) berangkat hari Sabtu jam 1 dinihari menuju kampung halaman kami di Magelang, Jawa Tengah. Kelak terbukti ternyata teori di atas tidak berlaku sama sekali. Hampir sebagian pemudik sepertinya memiliki pikiran yang sama denganku, termasuk para pengendara motor yang sejatinya sangat ditakuti oleh mobil-mobil pribadi karena jumlahnya yang luar biasa banyak dan juga karena cara mengendara yang umumnya ugal-ugalan.

Pada awal perjalanan, kami tak mengalami hambatan berarti. Memasuki jalan tol Jakarta-Cikampek mobil mampu melaju di atas kecepatan 80 km/jam. Baru setelah hampir mencapai ujung jalan tol ini laju mobil semakin tersendat. Kendaraan dialihkan melalui Sadang tidak keluar pintu tol Cikopo seperti biasanya karena menurut informasi jalur Pantura telah padat., bahkan kendaraan pribadi disarankan lewat jalur selatan melalui jalan tol Cipularang arah Bandung. Aku memutuskan mengubah rencana semula yang memilih jalaur Pantura, sekarang berubah jalur ke selatan lewat Nagreg melalui tol Cipularang. Ada sebuah firasat tak enak tiba-tiba menyergapku.

Menjelang subuh kami berhenti di sebuah rest area tidak jauh dari pintu tol Cileunyi. Kesempatan ini kami pergunakan untuk beristirahat dan melaksanakan kewajiban agama, yaitu shalat subuh. Buatku yang terjaga semalamam karena harus nyetir masih tersisa sedikit waktu buat tidur sejenak.


Menjelang jam 7 pagi, kami mulai meninggalkan rest area menuju pintu tol Cileunyi yang tinggal beberapa kilometer lagi jauhnya. Masya allah...lebarnya jalan tol ternyata telah dipenuhi kendaraan yang bergerak secara beringsut, sangat pelan menuju gerbang keluar. Dari informasi yang kudapat lewat radio, ternyata arah menuju pintu tol Cileunyi ini telah macet semenjak dini hari tadi. Mulai dari sinilah awal perjuangan berat seperti yang aku gambarkan di awal tulisan ini dimulai. Sebuah perjalanan panjang yang seperti tak berujung yang nyaris membuatku frustrasi bahkan ada keinginan untuk balik arah kembali ke rumah. Untung di sebelahku duduk seorang "navigator" yang selalu bersemangat memotivasi aku untuk maju terus.

Praktis sepanjang hari Sabtu itu kendaraan kami hanya bergerak sedikit demi sedikit dari Cileunyi menuju Cicalengka ke arah Nagreg yang berjarak sekitar 12 Km. Seperti mengalami de javu karena kami pernah mengala
mi kejadian yang sama beberapa tahun lalu di sini, hanya saja waktu itu ikut bersama kami seorang supir kantor yang hendak mudik ke Gombong sehingga kami seperti memiliki sopir gratisan...inilah yang disebut dengan simbiosis mutualisme, hubungan timbal-balik saling menguntungkan.

Kemacetan yang kami alami kali ini jauh lebih parah dibandingkan kemacetan di jalur yang sama beberapa tahun lalu. Waktu itu hanya Nagreg saja yang menjadi titik kemacetan, tetapi kali ini hampir sepanjang Cicalengka-Nagreg-Malangbong kendaraan hanya bisa bergerak dalam kecepatan berkisar 10 Km/jam bahkan mungkin kurang. Satu hal lagi yang membuat kendaraan amat tak nyaman dikendarai adalah kondisi jalan yang menanjak dan berliku-liku, sehingga banyak mobil dengan kondisi tak laik jalan terpaksa harus didorong menepi karena mogok. Alhamdulillah mobil kami baik-baik saja bahkan sampai balik ke Bogor pun, mobil tak mengalami gangguan yang berarti.


Kemacetan mulai terurai setelah melewati Malangbong memasuki daerah Ciawi. Kendaraan kami terus melaju menuju Rajapolah di daerah Tasikmalaya. Sepanjang jalan mata kami jelalatan mencari tempat untuk menginap karena waktu telah menunjukkan jam 9 malam. Rasanya terlalu berat buatku meneruskan perjalanan malam itu karena lelah mata dan tubuh sudah di atas batas toleransi. Daripada berisiko tinggi makanya kami putuskan mencari penginapan di sekitar sini saja.

Diiringi gema takbir bersahut-sahutan di sepanjang jalan yang kami lalui, kami terus mencari penginapan malam itu. Dari informasi seorang tukang parkir di depan Masjid Raya di jalan raya Rajapolah kami dapatkan keberadaan s
ebuah hotel di pinggir jalan raya arah Tasikmalaya. Hotelnya kecil, sekelas hotel melati lah tetapi suasananya amat tenang dan bersih. Malam itu kami tidur dengan nyenyaknya, bahkan suara takbir yang terdengar sayup-sayup tak putus-putusnya sepanjang malam semakin membuai kami larut dalam mimpi sampai subuh menjelang.

******************

Suara azan subuh membangunkanku. Aku segera bangkit menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kulirik istriku yang masih terbaring di tepi ranjang, ternyata ikut terbangun juga demi mendengar derit pintu kamar mandi terbuka. Sementara kedua anak kami masih terlelap tidur. Pagi itu setelah usai shalat subuh dan mandi, kami segera berkemas-kemas menuju
masjid guna melaksanakan shalat Iedul Fitri.

Sungguh sebuah lebaran yang aneh, tanpa sanak saudara maupun kerabat yang kami kenal, tanpa ketupat dan opor sebagai menu wajib lebaran bahkan tanpa hidangan apa pun dari hotel dikarenakan koki hotel pun ikut mudik lebaran. Kami berempat hanyalah musafir di tempat asing yang berada di tengah komunitas orang-orang yang tak kami kenal sama sekali.

Tempat shalat kami adalah sebuah masjid kecil di dalam sebuah komplek pondok pesantren dimana jamaah yang hadir sebagian besar adalah penghuni pondok ditambah beberapa penduduk lokal. Komplek ini letaknya beberapa ratus meter di belakang hotel menyeberangi suatu cekungan yang kupikir sebuah kali, ternyata adalah jalur kereta api. Suasananya terasa hening khas suasana pedesaan di daerah Priangan.

Ah iya... bukankah beberapa waktu lalu daerah sekitar Tasikmalaya ini yang paling parah terkena gempa? Ternyata memang benar...kami masih sempat melihat beberapa rumah retak-retak yang di depannya masih berdiri tenda darurat, bahkan pada saat perjalanan menuju Ciamis usai meninggalkan hotel ini masih sempat aku saksikan sebuah masjid yang menaranya telah runtuh sebagian menunggu benar-benar runtuh secara total.


Ditingkahi suara bedug yang ditabuh anak-anak kecil secara serampangan, shalat Iedul Fitri pun dimulai...tentu saja suara imam bersaing dengan bunyi bedug. Dan bunyi bedug ini masih berlanjut saat khatib menyampaikan khotbahnya...sangat tidak jelas terdengar. Kalaupun seandainya bisa terdengar dengan jelas tetap saja kami tak paham maksudnya karena khotbah disampaikan dalam bahasa Sunda. Hanya karena mengingat bahwa mendengarkan khotbah merupakan salah satu kesempurnaan shalat Iedul Fitri sehingga kami tak meninggalkan masjid lebih awal.


Ada hal aneh yang selama ini tak pernah aku jumpai di daerah asalku di Magelang maupun tempat tinggalku di Bojong Gede yaitu adanya beberapa buah meja yang diletakkan di sekitar masjid. Di atas meja tersaji hidangan berupa ketupat, kerupuk serta beberapa panci besar, barangkali isinya sayur berkuah semisal opor ayam. Aku rasa hidangan di atas meja itu khusus diperuntukkan buat acara makan bersama seusai shalat. Istriku dan anak perempuanku yang kebetulan mendapat tempat di dalam masjid pun mendapat tawaran makan bersama tetapi mereka menolaknya dengan halus. Bukan bermaksud menolak rejeki...hanya karena kuatir mengambil porsi para santri, itu saja.


Sesampainya di hotel, suasana telah sepi. Para penghuni hotel yang semalam ramai menginap sekarang hanya hanya tinggal satu-dua orang saja. Rupanya mereka bernasib seperti kami juga yang kelelahan di jalan dan memutuskan menginap barang satu malam. Begitu rasa lelah hilang mereka buru-buru meneruskan perjalanan menuju ke kampung halaman masing-masing, mungkin trauma dengan kemacetan kemarin. Tidak jelas apakah mereka sempat melaksanakan shalat Iedul fitri seperti kami apa tidak.


Tanpa mau berlama-lama, kami segera check-out dari hotel untuk meneruskan perjalanan menuju Jawa Tengah. Tujuan kami selanjutnya adalah Cilacap tempat kakak tertua istri menetap, dimana kebetulan beliau baru saja keluar dari RS karena menderita sakit.
Tidak lupa kami mampir dulu di sebuah rumah makan di daerah Rajapolah, Tasikmalaya, dan memesan nasi goreng buat sarapan pagi. Tanpa kami ketahui ternyata rumah makan ini pun menyediakan masakan khas Sunda berupa lalapan beserta ikan asin goreng dan aneka sambal yang kami sukai. Sayang kami telat mengetahuinya, tapi kami bertekad suatu saat nanti jika melewati tempat ini kami pasti akan mencobanya.

Matahari telah tergelincir di ufuk Barat tanda waktu telah memasuki Ashar ketika kami tiba di Cilacap. Di kota ini kami hanya menginap semalam saja, dan keesokan harinya pada hari Senin, 21 September pagi kami segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju kota kelahiran kami, Magelang.

******************

Kendaraan kami melintasi jalanan bergelombang sepanjang jalur yang menghubungkan kota-kota bagian Selatan Jawa Tengah menuju ke Timur. Jalan di sini umumnya datar dan lurus, hanya saja banyak tambalan di sana-sini sehingga tidak nyaman dilalui roda.
Sangat kontras kondisinya dengan jalan di Ciamis ke arah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah yang relatif mulus dan terawat, jalan di sini sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari pemda setempat. Hal yang menarik adalah deretan para penjual dawet ayu yang menggelar dagangannya di sepanjang tepi jalan raya ini yang secara fisik bentuk dan warnanya amat seragam, dengan kuali tanah liat yang dikerudungi kain berwarna hijau cerah...entah apa maksudnya. Bagaimana pun juga kita tak tak perlu kuatir kehausan saat melewati ruas jalan ini.

Keluar dari dari kota Purworejo lewat jalan alternatif, aku melihat deretan pegunungan menjulang di Utara. Tiba-tiba kurasakan kerinduan yang amat sangat untuk segera tiba di kota kelahiranku Magelang... karena di balik deretan pegunungan itulah kotaku berada. Jalanan terasa sekali menanjak disertai beberapa tikungan tajam di kawasan Margoyoso, sebuah kawasan yang terkenal keangkerannya saat aku masih kecil. Dahulu memang sering terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa manusia di sekitar sini. Alhamdulillah aku bisa melewatinya dengan selamat.


Selepas waktu Ashar kami pun memasuki kota Magelang yang disambut sejuknya udara kota ini, sebuah suasana yang aku rindukan dimana pun aku berada. Kami menginap di rumah orang tuaku yang kecil dan tua, seperti wajah ibuku yang kini telah mengeriput di sana-sini dengan rambut yang memutih sempurna. Aku seperti diingatkan oleh waktu yang cepat berlalu..tanpa terasa, tahu-tahu kita semua telah menua...
Di tempat inilah aku menjalani masa kanak-kanak sampai menginjak masa remaja. Bagaimana pun kondisinya, masa lalu memang selalu indah untuk dikenang.

Pagi hari usai shalat subuh kami bertiga ( aku, isteri dan Ari ) memutuskan jalan-jalan menuju Taman Kyai Langgeng. Beberapa objek aku abadikan lewat kamera di HP anakku.
Diantaranya adalah berupa lukisan mural di sepanjang dinding di jalan... (ah aku lupa namanya) yang jelas dulu jalan ini bernama Singoranon. Ternyata seniman Magelang pun tak kalah kreatifnya dibandingkan seniman dari daerah lain.

Kami berjalan berbelok ke kiri melewati sebuah jalan bernama Raharjo terus belok kanan ke sebuah gang kecil, sebuah tempat dimana seorang sahabat kecilku dulu pernah tinggal di sini.
Kondisi dan suasananya nyaris tak berubah dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu, didominasi rumah berarsitektur tua dengan suasana nya yang sepi.

Melewati sebuah masjid yang hampir seluruh halamannya telah tertutup atap di bagian atasnya, kami berjalan sampai di sebuah sekolah yang amat melegenda di Magelang, SMA Negeri 1 Magelang dengan bangunan bertingkat yang masih kokoh berdiri hingga sekarang. Sudah begitu banyak tokoh penting negeri ini yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah ini.


Kami pun tiba di depan pintu masuk Taman Kyai Langgeng, sebuah tempat yang aku kenal betul bahkan sebelum tempat ini dibangun menjadi kawasan wisata yang cukup dikenal di mana-mana.
Dulu waktu kecil aku suka bermain di sini mencari tanah liat, mencari belut di sawah bahkan berkemah. Waktu itu tempat ini masih berupa sawah dengan beberapa pancuran mandi. Suasananya sepi dan wingit, maklum dekat dengan sebuah makam kuno yang konon adalah salah seorang tokoh pengikut Pangeran Diponegoro bernama Kyai Langgeng. Makam kuno ini sampai sekarang masih terawat dengan baik.

Setelah puas menikmati pemandangan di depan taman, kami segera kembali ke rumah dengan tidak lupa melewati sebuah sekolah dasar yang penuh kenangan: SD Kemirirejo 1.
Jalan menuju sekolah ini membentuk sebuah koridor yang berujung pada sebuah pintu gerbang. Kondisi sekolah ini telah jauh berbeda dibandingkan saat aku dulu bersekolah di sini. Halamannya telah tertutup dengan paving block, sedangkan bangunannya sendiri sekarang telah menjadi dua tingkat, jauh lebih megah dan modern. Kabarnya sekarang SD Kemirirejo 1 & 2 telah digabung jadi satu bernama SD Kemirirejo 1. Beberapa memorabilia kawasan ini sempat aku abadikan, diantaranya adalah sebuah rumah yang dulu halamannya ditumbuhi sebuah tanaman sejenis jeruk yang sering dipetik secara iseng oleh anak-anak untuk mengilapkan kuku jari. Sayang sepertinya tanaman ini telah lama hilang dari rumah itu.

Siangnya kami putuskan berkeliling Magelang guna mengunjungi kerabat dengan tujuan silaturahmi. Sebelumnya kami mampir ke Makam Giriloyo yang terletak tepat di depan Kampus AKMIL. Di makam terbesar di kota inilah sebagian besar anggauta keluargaku beristirahat dengan damai, diantaranya adalah kakek, bapak dan 3 adikku.
Di komplek pemakaman ini terlihat tidak ada pemisahan yang jelas antara makam muslim dan non muslim, semuanya menyatu tanpa ada jarak, apalagi sebagian makam Kristen yang sekarang jadi pertokoan di jalan Ikhlas pun telah dipindahkan kemari.

Ada sebuah makam terkenal yang sampai sekarang masih sering ramai diziarahi. Itulah makam seorang pesohor yang namanya identik dengan film-film Indonesia bergenre mistik dan horor, dialah Suzanna.
Uniknya, makam ini terdiri dari 3 makam yang disatukan yang terdiri dari makam Suzanna sendiri, anak lelaki yang kabarnya tewas terbunuh dan seorang kakak perempuan Suzanna. Sayang untuk sebuah makam seorang artis besar sekaliber Suzanna cara penulisan epitafnya masih sederhana yaitu dengan cara dicat. Padahal seandainya dibuat dengan sistem pahatan seperti gaya makam Belanda kuno, barangkali hasilnya akan jauh lebih artisik.

Hari itu kami menginap semalam lagi dan pada keesokan hari kami berkemas-kemas menuju Semarang untuk mengunjungi rumah paman sekaligus mampir ke rumah baru adik iparku yang baru saja pindah dari Makassar. Cukup lama kami menunggu kedatangan saudara ipar di Magelang. selepas Ashar barulah mereka tiba.
Kami pun segera menuju ke makam almarhum bapak mertua di daerah Cacaban untuk nyekar, dilanjutkan bersilaturahmi ke rumah tetangga kanan kiri rumah mertua yang sekarang telah dikontrakkan, padahal rumah inilah yang dulu jadi base-camp kami selama di Magelang.

Pada Kamis pagi setelah menginap semalam di rumah adik ipar (adik bungsu isteriku) kami pun berangkat meninggalkan Semarang untuk kembali ke Bogor. Berbeda saat perjalanan mudik ke Jawa Tengah, perjalanan kami saat itu amat lancar tanpa ada hambatan apa pun. Bahkan kami tiba di rumah sebelum Maghrib, sebuah catatan tersendiri buat kami tentunya karena selama ini kami selalu tiba selepas Isya. Ah sebuah bentuk keseimbangan yang Allah ciptakan buat kami: menderita di awal tetapi manis di akhir...Allah memang Maha Adil! Segala kepenatan dan rasa frustrasi di awal perjalanan seperti terlupa saat kami tiba dengan selamat di rumah.


Magelang, tunggulah kunjungan kami berikutnya...

Monday, September 14, 2009

Dan ketika kenangan itu




:untuk sahabatku, EmWei

Gang kecil lengang
tak bosan menanti
entah pada siapa
rindu dialamatkan

Sebuah jalan berundak ke arah masjid
dan rumah tua di mana tinggal gadis belia
merajut hari di antara cinta dan bunga-bunga
juga burung-burung gereja
yang sesekali hinggap di beranda

Lalu rekahlah seulas senyum
di ranum kelopak gladiol
dan sebuah percakapan panjang
yang tak terucapkan
tentang masa lalu yang lindap

Sahabat kecilku,
aku percaya sebagian jiwa telah kau titipkan di sana
bersama dentang mengalun lonceng sekolah
bersama derap kaki-kaki kecil di rumput basah

Dan ketika kenangan itu terpaksa kau tanggalkan
dari sebuah tempat yang mewariskan kasih sayang
aku sadar, hanya itu yang bisa kutulis tentangmu
lewat puisi ini, sebagai lambang persahabatan abadi

Nun di sana, dalam kedamaian sebuah rumah
ada wanita dewasa bersama cintanya
di antara bunga-bunga dan barangkali burung gereja
yang sesekali hinggap di beranda

'tuk menjenguknya

(Jakarta, 18/09/09)

Thursday, September 3, 2009

Belajar dari ilalang

Bulan Juli yang baru lalu genap 15 tahun sudah aku tinggal di Pura Bojong Gede. Lima belas tahun sebenarnya bukan waktu yang pendek. Namun kenangan saat boyongan ke tempat ini masih terbayang jelas di kepala. Kegiatan boyongan yang terpaksa kulakukan karena masa kontrak rumah yang kutempati habis. Untungnya rumah baruku sudah siap ditempati, meski dengan segala keterbatasan. Gak ada dapur, gak ada listrik, gak ada tetangga dan sepanjang malam tidur diiringi nyanyian jangkrik serta desau angin musim kemarau, tapi hidup terasa indah seperti lantunan lagu 'What a Wonderful World'- nya Louis Armstrong yang setiap saat mengalun dari tape bututku. Beruntung pula aku memiliki seorang istri yang sabar dan tabah yang hampir setiap hari aku tinggal sendirian di rumah tanpa rasa takut ataupun mengeluh.

Hanya berbekal perabotan seadanya—karena memang hanya benda-benda itu yang kupunya—aku memulai babak baru di sini. Tinggal di tempat terasing nun jauh di pelosok sana. Sebuah pinggiran kota Bogor yang dikelilingi padang prairie. Hah, prairie? Kayaknya lebih tepat disebut padang ilalang, deh! Prairie jauh lebih eksotis dan indah, pastinya.
Tapi justru padang ilalang itulah yang memberiku sebuah inspirasi. Sebuah renungan tepatnya.

Orang Betawi bilang 'tempat jin buang anak', untuk menggambarkan tempat tinggalku yang terpencil, jauh dari keramaian. 15 tahun kemudian tempat ini bukan lagi tempat 'jin buang anak' , tapi jadi tempat 'anak jin buang bapak'. Boleh jadi karena banyak manula yang 'dibuang' di sini oleh anak-anaknya. Sementara anak-anak para manula ini sibuk dengan urusan masing-masing dan tentu saja lebih memilih tinggal di kota.

Satu hal yang tak berubah di tempat itu adalah padang alang-alang tadi.
Sepanjang jalan masuk permukiman yang terlihat hanyalah rumpun ilalang dan ilalang. Nyaris tetap sama dibandingkan saat 15 tahun lalu pertama kali kujamah tempat ini.
Kalau saja rumpun ilalang ini adalah ladang gandum atau padi-padian yang bisa dikonsumsi manusia, pastilah cukup buat makan orang sekampungku selama berbulan-bulan tanpa harus bersusah payah menanamnya. Tapi ia hanyalah tanaman yang nyaris tak berguna. Bahkan kehadirannya justru dibenci manusia. Ajaibnya tanpa ditanam, tanpa dipupuk, tanpa dirawat, ilalang ini tumbuh dengan suburnya. Sementara lebih sering kita mendengar keluhan para petani yang gagal panen meski segala cara telah diupayakan untuk memaksimalkan hasil panenannya. Ironis memang.

Pelajaran moral yang bisa dipetik adalah hidup mesti diperjuangkan. Tak mungkin dengan ongkang-ongkang kaki manusia mampu mencukupi kebutuhannya. Tuhan menyediakan sarananya, manusia mengolahya menjadi sesuatu yang berguna buat kelangsungan hidup mereka. Semak belukar, padang ilalang harus diubah jadi ladang-ladang subur yang bisa menghasilkan makanan. Dan semua itu harus dilakukan dengan kerja keras dan keteguhan hati. Tanpa itu semua mustahil kehidupan sejahtera tercapai.
Andai saja kita mampu memahami isyarat-isyarat ini, mungkin krisis yang menimpa bangsa kita tak akan sedahsyat saat ini. Tuhan mengajar manusia lewat apa saja. Isyarat-isyarat itu ada di sekeliling kita. Tak terkecuali lewat rumpun ilalang yang nyaris tak berarti.

Wednesday, July 29, 2009

Penipuan Berkedok Casting Sinetron

Senin malam sesaat setelah tiba di rumah sehabis lelah bekerja seharian, aku merebahkan punggung yang pegal di sandaran kursi sambil menikmati segelas teh hijau hangat. Sementara kedua anakku dan ibunya asyik dengan kegiatan masing-masing. Ari asik main gitar di kamar, sedangkan Ratri dan ibunya lebih suka nonton TV.

Tiba-tiba Ratri menghampiriku dengan ekspresi penuh harap, aku hapal banget dengan ekspresinya ini...pasti ada maunya.

"Pak, tadi siang sehabis pulang sekolah adik ditawarin sama orang untuk jadi figuran di sinetron, boleh nggak...boleh ya?" Begitu rengeknya membuka percakapan kami.

"Hah...main sinetron? Gak salah, dik...main sinetron itu tak semudah yang kau kira...syaratnya ketat dan mereka tak gampang mengambil orang sembarangan. Terus, siapa yang ngajak kamu?" Tanyaku dengan perasaan lumayan kaget dan penasaran.

"Seorang mbak-mbak..."

"Kamu kenal dia?"

"Tidak..."

"Kalau tidak kenal kenapa kamu percaya?"

"Soalnya temen-temen adik juga diajak... besok setelah jam sekolah, orangnya mau motret kami dulu sebelum syuting."

Instingku sebagai orang tua langsung muncul begitu mendengar penuturan anak gadisku yang tengah beranjak remaja ini. Ada beberapa hal yang membuatku curiga, sepertinya ada maksud tertentu di balik ajakan yang amat menggiurkan itu. Dengan panjang lebar kujelaskan padanya dan tentu saja dengan menjabarkan beberapa kemungkinan yang terjadi jika dia memenuhi ajakan orang yang tak dikenal.

Sungguh aku dibuat risau dengan sikap anak gadisku semata wayang ini yang belakangan cenderung semaunya, keras kepala dan mudah ngambek apabila yang dikehendaki tak dituruti. Kata-kata wejangan yang diucapkan orang tua sampai berbuih-buih pun terkadang hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Rupanya sebelum minta ijin kepadaku ia telah merayu ibunya terlebih dulu. Seperti sudah bisa ditebak, pendapat ibunya pun ternyata sama dengan bapaknya. Ya iyalah...mana ada sih orang tua yang mau anaknya celaka?

Obrolan malam itu pun akhirnya diakhiri gerutuan anakku dan bunyi pintu kamar dibanting. Ya Allah...mudah-mudahan Kau luaskan kesabaran kami dan Kau bukakan mata hati putri kami.
Dan malam pun kian larut dalam hening.

***********


Pagi harinya semua berjalan seperti biasa, sebuah rutinitas yang selalu kami jalani setiap hari. Kedua anakku mencium tangan bapak ibunya berpamitan hendak berangkat sekolah. Ari saat ini duduk di kelas X SMA Negeri 2—rupanya tengah menikmati kebanggaan menjadi bagian "the putih abu-abuers"—sedangkan Ratri masih duduk di kelas VIII SMP Negeri 6. Ekspresi wajahnya tak menampakkan sisa kekesalan tadi malam. Kami berdua pun melepaskan keberangkatan mereka dengan senyum. Semoga saja petuah-petuah yang kami berikan tadi malam ada manfaatnya.

Sore hari sehabis ashar, henponku yang tergeletak di atas meja kerja berbunyi. Suara ibunya anak-anak dari seberang sana.

" Assalamualaikum...pak, koq si Ratri belum pulang juga ya? Jangan-jangan dia ikut ajakan orang itu..." Ada nada kuatir dari suaranya.

Deg...jantungku serasa berhenti berdetak. Kulirik jam di komputerku menunjukkan pukul lima lebih. Biasanya tak sampai selarut ini Ratri berada di sekolah, sementara henponnya ia tinggalkan di rumah dalam keadaan baterai habis. Ibunya yang bermaksud menghubungi teman-teman sekolah yang tercatat di henponnya pun mengalami kesulitan membukanya, sedangkan aku masih berada di kantor. Dalam kondisi seperti ini hanya doa yang bisa kami panjatkan semoga anakku baik-baik saja.

Waktu bergulir, sore pun mendekati ambang senja...sebentar lagi adzan maghrib dikumandangkan. Di puncak ketegangan yang kurasakan, mendadak henponku berbunyi lagi...suara ibunya anak-anak lagi.

" Assalamualaikum...anaknya udah pulang nih pak. Panjang sekali ceritanya...nanti aku ceritain di rumah aja..."

Cesss...jantungku mendadak dingin serasa disiram air. Meskipun begitu hati merasa tak tenang dan penasaran dengan apa yang dialami anakku tadi ditambah perasaan jengkel karena omonganku yang tak dipatuhi. Setelah shalat Maghrib kuputuskan segera berkemas dan pulang.

Jam setengah sembilan malam aku tiba di rumah. Kulewati kamar anak perempuanku yang tertutup rapat, sepertinya ia ketakutan dan merasa bersalah sehingga lebih memilih mengurung diri di kamar. Dari penuturan isteriku baru aku tahu cerita sebenarnya meskipun tak selengkap bila keluar dari mulut anakku sendiri.

Ceritanya si Ratri dan gengnya (kalau tidak salah berlima) diajak wanita itu ke sebuah tempat pencetakan foto yang lokasinya tak jauh dari sekolah. Mereka diminta meminjamkan hp dan kamera (kebetulan ada seorang anak yang membawa kamera digital pinjaman) buat memotret masing-masing anak. Yang mengherankan si perempuan ini memiliki hp canggih (mirip BB) tapi kenapa justru meminjam hp anak-anak yang kualitasnya masih di bawah miliknya. Bahkan perempuan itu menolak menerima foto cetak yang dibawa seorang anak dengan suatu alasan yang dibuat-buat.

Pada sebuah sesi pemotretan di mana anak-anak ini disuruh rebah di lantai dengan posisi miring membelakangi kamera. Kesempatan itu dimanfaatkan si perempuan untuk kabur dengan membonceng sepeda motor RX King yang ternyata telah menunggu di luar. Dengan demikian berakhirlah acara casting pura-pura ini. Kini tinggal sekelompok anak perempuan dengan seribu penyesalan, sadar telah kena tipu perempuan tadi. Sebuah henpon dan sebuah kamera digital melayang di depan mata mereka.

Kejadian ini telah dilaporkan ke polisi oleh orang tua salah seorang murid. Untuk itu anak-anak harus jadi saksi di kantor polis, akibatnya semua anak pulang terlambat. Si Ratri sempat menghubungi rumah untuk memberi tahu ibunya tapi karena rumah kosong jadi tidak ada yang mengangkat telepon. Kenapa tidak nelpon bapaknya di kantor? Jawabannya simpel, tentu saja karena dia takut dimarahi gara-gara telah mengabaikan omongan bapaknya.

Aku melihat ada sebuah pergeseran cara anak-anak generasi sekarang menatap masa depan. Sebuah pencapaian (baca: prestasi) yang dilewati dengan suatu proses yang membutuhkan usaha dan keseriusan mulai ditinggalkan. Mereka lebih menyukai jalan pintas—segala sesuatu yang dicapai secara instan. Dalam hal ini pengaruh media masa amat besar, terutama televisi. Media ini ikut bertanggung jawab menciptakan generasi hedonistik, dimana segala hal diukur dengan kebendaan. Bagi anak-anak yang baru berkembang secara fisik dan emosional, mereka mudah sekali dipengaruhi. Kondisi seperti ini dimanfaatkan dengan baik oleh para penipu yang tahu benar psikologi anak remaja.

Kami sebagai orang tua merasa beruntung anak-anak telah kembali dengan selamat. Apa jadinya kalau mereka mengalami hal-hal yang kami takutkan misalnya penculikan yang saat ini tengah marak di kalangan anak usia sekolah, lebih jauh lagi mengalami trafficking, suatu bentuk perdagangan manusia...naudzubillahimindzalik!
Semoga saja pengalaman ini bisa menyadarkan anak perempuanku agar lebih berhati-hati melangkah menuju kedewasaan.

Monday, July 27, 2009

Curhatan Seorang Penglaju

Pagi itu, waktu menunjukkan jam delapan kurang dua menit, angkot yang kunaiki merayap memasuki jalanan di sekitar stasiun Bojong Gede yang rusak dan macet. Seperti inilah suasana sehari-hari di sini, serba semrawut karena angkot dan ojek pada ngetem sembarangan di tempat yang tak semestinya. Kondisi jalannya pun, minta ampun...sempit dan berlubang-lubang lebih pantes buat angon bebek. Sungguh mengherankan, kondisi jalan sudah separah itu tapi belum ada tanda-tanda mau diperbaiki.

Terdengar klakson KRL melintas dari arah Bogor memasuki stasiun Bojong Gede, tanp
a berpikir panjang aku turun dari angkot terus berlari menuju stasiun (tentunya setelah bayar ongkos). Ini kulakukan untuk menghemat waktu daripada harus nungguin angkot masuk terminal dulu.

Dengan nafas ngos-ngosan sampailah aku di peron stasiun dan hampir saja nabrak orang yang antri tiket. Mendadak lututku melemas saat melihat KRL ekonomi itu berlalu meninggalkan stasiun dengan suara klaksonnya yang panjang membahana. Meninggalkan diriku dengan mulut melongo sambil menatap pantat kereta itu menjauh kemudian lenyap di tikungan. Sungguh keterlaluan... tak memahami perasaan orang yang mati-matian mengejarnya umpatku dalam hati. Jam menunjukkan pukul delapan lewat dua menit. Kekecewaanku pertama pagi itu.

Langkahku terasa berat menyusuri sepanjang peron stasiun. Biasanya mata suka jelalatan kemana-mana mencari penampakan yang bening-bening dan wangi-wangi. Tapi kali ini otakku lagi males berfikir ke arah sana. Meskipun kecewa, aku pendam perasaan itu dan berharap semoga kereta berikutnya segera tiba

Ting tong ting tong...suara dari pengeras suara stasiun mengumumkan posisi KRL berikutnya. Suaranya bersaing dengan suara pengajian dari masjid seberan
g. "Mohon perhatian...KRL ekonomi jurusan Jakarta yang berangkat dari stasiun Bojong Gede pukul 08.15, hari ini keretanya DIBATALKAN berhubung rangkaiannya mengalami gangguan". Gubraaaaakkk...!!! Atap peron serasa runtuh menimpa kepalaku.

Aku menyumpah semampuku (lagi-lagi hanya di dalam hati)...KRL y
ang diharapkan bisa jadi pengobat kecewa malah membuat kekecewaanku semakin bertumpuk . Inilah kondisi KRL kita itu teman. Setiap hari ada saja kereta yang dibatalkan. Kalau pun jalan, bisa dipastikan cuma 1 set rangkaian yang terdiri cuma 4 gerbong. Padahal untuk menunggu kereta ini butuh waktu lebih dari 1 jam setelah kereta-kereta "terhormat" (Ekspres AC dan Ekonomi AC) dipersilakan jalan duluan. Inilah kekecewaanku yang ke-dua pagi ini.

Mungkinkah ini taktik dagang dari PT KAI untuk secara pelan-pelan mengkondisikan para penumpang berpindah ke kereta AC kemudi
an mematikan kereta ekonomi sama sekali? Bukan bermaksud suudzon sih, tapi rasanya analisa ini cukup masuk akal. Terlebih lagi jauh hari sudah terdengar kabar burung kalau PT KAI bakal menghapus KRL ekonomi. Aku jadi bertanya dalam hati bagaimana nasib para pedagang tangga dan bangku-bangku kerajinan dari bambu yang setiap hari memanfaatkan jasa kereta murah dan merakyat ini? Masihkah mereka diperbolehkan mengangkut barang-barang bervolume besar itu ke dalam KRL ber-AC, seandainya KRL ekonomi benar-benar dihapuskan?

Aku perhatikan sejak PT KAI Divisi Jabotabek bertranformasi menja
di PT KAI Commuter, kondisi per KaErEl-an bukannya semakin rapi malah jadi acakadut. Ada saja gangguan setiap hari. Banyak kereta tua dipaksakan jalan sehingga berakibat mogok dan mengganggu kelancaran perjalanan, karena jadwal terganggu penumpang jadi menumpuk, karena penumpang menumpuk KRL jadi penuh sesak, karena membawa beban melebihi kapasitas KRL jadi sering rusak dan mogok. Begitu seterusnya, berputar seperti lingkaran setan. Sejauh ini belum ada upaya signifikan untuk mengatasinya, misalnya dengan mengganti KRL yang lebih fresh. Bukankah selama ini PT KAI sering mendapat hibah KRL bekas dari Jepang? Kenapa kereta-kereta itu lebih diprioritaskan untuk KRL ekonomi AC dan Ekspres? Terlihat sekali kalau PT KAI Commuter pilih kasih.

Setiap jam-jam sibuk (saat pagi dan petang hari) penumpukan penumpang terj
adi hampir di semua stasiun. Pindah ke KRL ekonomi AC? Setali lima uang (biar gak bosen tiga diganti lima) alias sama aja atau malah lebih parah. Dalam kondisi gerbong penuh sesak dan pintu tertutup, dinginnya air conditioner pun sudah tak berpengaruh sama sekali. Gerbong jadi pengap karena penuh karbon dioksida akibatnya dada rasanya sesak buat bernafas. Aku pernah mengalami kondisi seperti ini bahkan nyaris pingsan.

Silakan dipikir...kalau naik kereta bertarif Rp 5.500,- saja kita masih belum mendapatkan pelayanan yang memadai, bagaimana dengan nasib saudara-saudara kita yang hanya mampu naik KRL ekonomi bertarif Rp 1.500,- sampai Rp 2.500,-?
Nasib para penglaju (baca: commuter) memang tak pernah berubah da
ri dulu meskipun pengelolanya berganti-ganti nama dan bentuk.

Tak bisa dipungkiri masih banyak penumpang KRL ekonomi yang tak b
eli tiket. Kelakuan mereka ini boleh jadi dipengaruhi sikap pengelola KRL sendiri yang tak tegas bertindak, bahkan sering terkesan permisif atau barangkali malah takut? Parahnya lagi lantas digeneralisasi kalau penumpang KRL ekonomi pada umumnya tak beli tiket. Padahal yang disiplin membeli tiket dan kartu abunemen pun tak kalah banyaknya. Kalau saja mereka lebih tegas dan berani mengambil sikap, pastilah alasan merugi yang suka digembar-gemborkan para pemegang otoritas perKaErElan itu takkan terdengar lagi.

Kulirik jam tanganku, menunjukkan pukul sembilan kurang tujuh menit. Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya KRL yang ditunggu pun tiba. Kondisinya jangan ditanya lagi...penuh sesak sampai banyak penumpang yang duduk di atap. Kalau udah begini masalah keselamatan diri cuma jadi prioritas ke sekian, pokoknya bisa sampai tujuan aja udah bersukur. Dengan mengerahkan segenap tenaga aku berhasil masuk ke dalam gerbong yang pengap.

Sebenarnya bisa saja kuputuskan naik KRL ekonomi AC yang berangkat duluan seperti yang biasa kulakukan setiap kali terjadi masalah seperti ini. Kali ini aku berusaha tidak tunduk pada taktik dagang pengelola KRL terlebih hatiku sudah kesal banget...biarlah telat sekalian.

Aku memilih posisi di dekat sambungan gerbong dengan harapan mendapatkan tempat lebih lega. Perkiraanku meleset ternyata posisi ini telah "dikuasai" segerombolan orang yang dengan santainya duduk lesehan tak peduli sama penumpang lainnya yang rela berdiri dan menahan dorongan dari arah luar agar tak ambruk menimpa orang-orang yang sedang "tahlilan" ini. Di KRL ekonomi terlhat sekali karakter umum orang Indonesia yang komunal, artinya lebih senang berkelompok dalam sebuah komunitas. Mungkin ini sebuah upaya mereduksi segala tekanan hidup ya? Karena penumpang KRL umumnya memang bukan dari golongan yang serba berkecukupan.

Jam sepuluh lebih tiga menit aku sampai di kantor. Sejam yang lalu, janji dengan seorang teman sudah aku batalkan. Meski dengan perasaan tidak enak dan malu dengan teman-teman yang udah datang lebih pagi, kupaksakan juga untuk bersikap wajar saja...toh mereka juga tak akan bertanya macam-macam. Gara-gara KRL semua yang aku jadwalkan pagi itu berantakan...inilah kekecewaanku ke-tiga kalinya.

Sungguh tak nyaman jadi seorang penglaju (baca: commuter). Ini bukan pilihan hidup tapi sebuah keterpaksaan, apalagi harus menggantungkan diri pada sebuah moda transportasi bernama Kereta Rel Listrik (KRL) ekonomi yang para pengelolanya tak pernah berpihak kepada kami, para penumpang kelas teri.

Thursday, July 9, 2009

Jalan Raya Bogor: Sepenggal Kisah Masa Lalu

Siang itu matahari bersinar dengan garangnya. Kereta kuda van Riemsdijk berjalan tertatih menyusuri jalan tanah bergelombang menuju rumahnya di Tandjong Oost. Debu tebal mengepul di belakang roda yang berputar menimbulkan suara berderak. Di depan sana, dari jarak cukup jauh ia melihat sebuah kereta lainnya berhenti membentuk siluet bergoyang akibat fatamorgana.

Van Riemsdijk memacu kudanya dan berhenti di belakang kereta mogok itu. Setelah memarkir kereta di bawah sebuah pohon asam yang rindang, ia turun dan berjalan menghampiri. Ia melihat seseorang berjongkok memeriksa roda kereta yang patah asnya, seseorang lainnya berdiri di sebelahnya sambil berkacak pinggang dengan raut muka kesal dan bibir yang tak berhenti menyumpah. Laki-laki itu memakai baju dan topi mirip dengan yang dikenakan Kaisar Napoleon dari Prancis.

Melihat penampilannya, van Riemsdijk langsung yakin kalau lelaki ini pastilah Marsekal Herman Willem Daendels yang sedang dalam perjalanan menuju Buitenzorg. Tanpa membuang waktu lagi ia lantas memberi hormat dan menyapanya dengan ramah.

Sejurus mereka saling bercakap, selanjutnya setelah tahu duduk persoalannya, van Riemsdijk menawarkan kereta kudanya sebagai ganti kereta Daendels yang mogok itu. Dengan senang hati Daendels menerima tawaran van Riemsdijk sambil berkata: " Ah tuan sungguh sopan sekali, padahal saya berfikir kalau pun seandainya tuan tidak menawarkan kereta ini, pastilah saya akan mengambilnya begitu saja. Baiklah tak jadi soal, betapa pun juga saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan tuan." Setelah itu Daendels meninggalkan van Riemsdijk yang berdiri terpaku memandang keretanya bergerak meninggalkannya sendirian di tengah jalan, kemudian lenyap dari pandangan mata.

Sekarang giliran van Riemsdijk—keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda: Jeremias van Riemsdijk (1712-1777) yang kebingungan tak tahu dengan kendaraan apa ia pulang ke Groeneveld, rumahnya di Tandjong Oost (Tanjung Timur, dekat Condet). Padahal Groeneveld jaraknya masih beberapa pal dari tempatnya berdiri ini. Akhirnya tuan-tanah yang berbadan tambun ini memutuskan pulang dengan berjalan kaki di tengah teriknya matahari.

Itulah sebuah fragmen kisah masa lalu dari ribuan kisah lainnya yang pernah terjadi di sebuah jalan raya yang sekarang bernama Jalan Raya Bogor. Sebuah jalan yang dahulunya merupakan akses utama dari Batavia ke Buitenzorg. Namun dengan dibukanya jalan tol Jagorawi, lambat laun peran jalan ini pun tergantikan meskipun tak mengurangi volume kendaraan yang lalu-lalang di atasnya.

Dahulu untuk mencapai Buitenzorg dari Batavia diperlukan waktu sekitar 4 jam melewati jalan ini (seperti diceritakan Gustaaf Willem van Imhoff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah dari 1743 sampai 1750). Bahkan Marsekal Herman Willem Daendels pernah tak bisa mencapai Buitenzorg dalam waktu 1 hari karena kondisi jalan yang buruk dimana banyak sungai meluap hingga menyebabkan jalan yang dilewati bagaikan rawa-rawa.

Pada KM 34 terdapat Pasar Cimanggis, sebuah tempat yang dahulu dimiliki oleh tuan tanah yang rumahnya terletak tidak jauh dari sini. Tempat ini jaman dulu merupakan pos perhentian bagi orang-orang yang tengah melakukan perjalanan ke Buitenzorg atau Tjipanas. Di sini orang bisa beristirahat sejenak sambil mengganti kuda-kuda mereka dengan kuda yang lebih segar kondisinya (seperti lukisan Johannes Rach di bawah). Maklum perjalanan ke Buitenzorg bukanlah hal yang mudah dikarenakan kondisi jalan yang buruk waktu itu.

Kondisi Jalan Raya Bogor saat ini memang sangat jauh berbeda dibandingkan masa lalu. Di kanan kirinya telah penuh dengan bangunan-bangunan baru dengan peruntukan sebagai rumah pribadi, kantor, pabrik maupun toko-toko. Kalaupun masih ada yang bisa dijadikan penanda masa lalu, itu adalah pohon-pohon asam tua yang masih tumbuh beberapa buah berderet di sepanjang jalan ini. Disamping itu masih ada satu-dua rumah besar milik bekas tuan-tanah yang masih berdiri menunggu runtuh secara perlahan karena sikap generasi sekarang juga penguasa yang tak peduli lagi dengan sejarah dan masa lalunya. Sungguh menyedihkan.

Sumber foto:
• Wikipedia-Daendels (lukisan Raden Saleh)
• Rijksmuseum.nl - lukisan Johannes Rach

• Koleksi pribadi