Thursday, October 9, 2014

di Sepanjang Jalan Desa

Sepedaku bergerak seiring kayuhan kakiku pada pedal. Ban bergerigi menggilas jalanan desa yang telanjang tanpa lapisan semen apalagi aspal hot mix. Hanya tanah merah dan butiran kerikil yang melapisinya. Bunyi gemeretak terdengar ketika ban beradu dengan butiran kerikil, sebagian melejit tanpa terkendali.

Di depanku si sulung lima tahun usianya duduk di kursi plastik yang didisain khusus untuk balita, terlihat gembira. Wajahnya berseri seperti sinar Matahari pagi yang menembus sela rumpun bambu, menciptakan bayangan teduh di bawahnya. Kolam ikan, dengan pancuran bambu memancarkan air bening. Sungai kecil yang selalu setia mengairi sawah di sekitarnya begitu asing di matanya yang bening. Tapi ia begitu menikmati perjalanan ini, tak peduli badannya bergoncang karena jalanan yang tak rata bersama sepeda kreditan dari kantor dengan angsuran yang lama lunasnya.

Itu dulu, lebih dari lima belas tahun lalu, namun kenangannya tetap membekas meskipun belasan tahun telah terlewati. Sulungku kini telah menjelma jadi mahasiswa semester 5 yang tengah sibuk dengan dunia kampusnya. Sepedaku pun telah lama teronggok di sebuah sudut rumahku menjelma besi tua, sedangkan bangku plastik kecil itu entah kemana perginya, tak ketahuan rimbanya.





Sekarang jalanan desa yang dulu sepi masih terentang sepanjang tiga kilometer. Menghubungkan dua kecamatan, Tajurhalang dengan Bojonggede. Hanya saja wajahnya kian berubah. Kini berlapis semen yang sebagian sudah mengelupas, menyisakan lubang dan butiran koral. Masih saja lengang meskipun sebagian orang lebih senang melewatinya karena jarak yang relatif pendek dibandingkan jalan utama yang terentang sejauh delapan kilometer. 

Jalan ini juga yang setiap hari aku lewati dengan motor saat pagi berangkat kerja dan malam ketika pulang. Masih sepi, masih menyisakan kerindangan dan kesejukan udara pagi. Masih pula terdengar suara binatang malam ditingkahi gemerisik daun bambu saat Matahari tenggelam di balik peraduannya. Namun sampai kapan semuanya akan bertahan? Manusia beranak pinak semakin banyak. Pepohonan ditebangi. Jengkal demi jengkal luas tanah berkurang untuk hunian. Tidak berlebihan bila sebentar lagi jalanan desa yang lengang ini pun tinggal menyisakan cerita.


 





Tuesday, September 2, 2014

di Sepenggal Bandung



Menyusuri jalan setapak di kerindangan pepohonan dalam hembusan samirana sejuk membuatku lupa akan hiruk pikuk kotaku yang penat. Gymnasium yang megah, gedung-gedung jangkung, teriakan riang remaja berlatih softball, sorak sorai anak-anak sekolah lab school, sekelompok kecil calon cendekia yang duduk di lantai berdiskusi bersama laptop di pangkuannya. Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin mereka risau panggilan rindu kampung halaman dan pertanyaan penuh harap dari bapak: kapan kamu pulang bawa ijazah?

Sejenak ku palingkan muka memandang gedung tua nan anggun Villa Isola. ada ribuan kata tak tuntas dituliskan untuk sekadar mengisahkan kecantikan buah karya Charles Prosper Wolff Schoemaker itu. Barangkali ia terinspirasi oleh sebuah kisah tentang "sepotong surga yang tertinggal di bumi." Surga yang mulai memudar karena kerut-kerut dan bopeng di wajahnya. Jika ia buku tentu setiap halamannya dipenuhi ribuan coretan kisah yang tak berkesudahan. Seumpama tembok ratapan tentu badannya penuh luka sayatan.

Namun di sini aku mulai bisa mengingat wajahku sendiri yang sekian lama terlupa bukan karena amnesia, tapi karena aku kehilangan penandanya. Penanda itu kini menjelma nyata di depan mata. Pada gedung tua, jalanan teduh dan udara pagi yang menguar bau rerumputan.

Bandung, 16 Agustus 2014