Monday, May 25, 2009

Menikmati Kesejukan Ciwidey

Melupakan kesibukan dan rutinitas sehari-hari untuk sejenak melebur diri dengan alam yang asri, inilah tujuan utama acara jalan-jalan ini. Kebetulan pada Mei 2009 ini ada hari libur kejepit tanggal 21 yang jatuh pada hari Kamis sehingga cukup panjanglah waktu jalan-jalan kali ini. Direncanakan berangkat tanggal 20 malam dan pulang 23 pagi.

Penyelenggara sekaligus fasilitator acara ini adalah kantorku sendiri. Yah...gak usah heranlah memang ini acara kantor yang diperuntukkan buat seluruh karyawan, tanpa terkecuali setelah
cukup lama acara ini vakum. Terakhir kami melakukannya pada bulan Mei tahun 2003 di Puncak Pass.

Kali ini Ciwidey yang menjadi tujuan, dengan pertimbangan obyek wisatanya amat menarik, bukan hanya karena keelokan alam dan kesejukan udara pegunungan, juga karena tempat ini relatif lebih dekat dengan Jakarta. Jadi lebih mudah dijangkau dan tentunya akan menekan cost pengeluaran.

Kami berangkat hari rabu tanggal 20 Mei jam 20.30 dengan kekuatan 40-an personil dari Jakarta ke arah Bandung lewat tol Cipularang. Perjalanan mengalami hambatan sebelum masuk area 57 di jalan tol Jakarta-Cikampek karena ada truk mogok sehingga rombongan baru sampai Ciwidey sekitar jam 2 pagi.


Kami menginap di Patuha Resort yang terletak di lereng pegunungan Patuha dengan ketinggian sekitar 1200 meter dpl yang langsung disambut udara dingin menusuk tulang. Beruntung masing-masing telah dibekali dengan pakaian tebal yang cukup menghangatkan badan kami.

Pagi dini hari itu tidak banyak yang bisa aku lakukan kecuali hanya sekadar menghangatkan badan dengan minum minuman hangat yang telah disediakan pihak pengelola resort...selanjutnya membungkus diri dengan selimut di dalam kamar dan tidur. Sementara di luar masih banyak yang mengobrol sambil menunggu matahari terbit, mungkin.

Patuha Resort adalah komplek penginapan yang berada di lereng pegunungan, dengan dikelilingi vegetasi yang cukup lebat di bawah pengelolaan PT Perhutani III. Sepintas seperti terpencil dari lingkungan permukiman lainnya. Pemandangan di sekitar resort ini terlihat elok apalagi saat cuaca cerah.


Berkeliling mengitari resort ini yang tampak adalah suasana kehijauan pepohonan khas pegunungan seperti pinus misalnya.


Di lereng agak ke bawah terhampar perkebunan strawberry yang menjadi andalan para petani Ciwidey.


Bila berkenan, pengunjung bisa memetik sendiri buah strawberry dengan kisaran harga antara 25 ribu sampai 35 ribu rupiah per-kilonya. Dijamin para pemetik bisa memilih buah yang mereka inginkan. Waktu aku ke sana strawberry habis dipanen, sedangkan buah ini umumnya baru bisa dipetik lagi setelah 2 hari...sayang, ya!


Hari pertama di Patuha Resort diisi dengan aneka lomba yang kocak, konyol sekaligus mengundang tawa. Yah, namanya juga acara lucu-lucuan. Hadiahnya memang tak seberapa, tapi toh semua peserta tetap berusaha keras menjadi juara. Maklumlah, menjadi juara adalah sebuah prestise. Sebaliknya sungguh tak nyaman menjadi pecundang. Betulkah?


Hari berikutnya rombongan menuju Kawah Putih. Kami berangkat jam 9 pagi menuju tempat perhentian pertama. Bis kami harus berhenti di perhentian ini karena hanya kendaraan kecil yang boleh naik. Selanjutnya perjalanan diteruskan dengan mobil Mitshubisi pick-up yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sebagai angkutan wisata. Ongkos naik kendaraan ini sebesar 8 ribu rupiah/orang pulang pergi, sedangkan karcis masuk kawasan ini adalah 10 ribu rupiah/orang.


Jarak perhentian pertama dengan perhentian berikutnya sekitar 3 kilometer dengan kondisi jalan menanjak dan berliku. Di sini mulai terasa kalau suhu semakin dingin apalagi di dalam kendaraan setengah terbuka seperti ini.


Di samping kanan-kiri jalan terdapat tebing yang tertutup vegetasi lebat. Kendaraan harus tetap waspada apalagi jika berpapasan dengan kendaraan lain karena sempitnya badan jalan.


Beberapa menit kemudian sampailah kami pada perhentian ke dua di mana dari sini perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Kawah Putih yang jaraknya sekitar 300 meter. Dari perhentian ini bau belerang sudah mulai tercium.


Tiba di bibir kawah, rombongan menuju sebuah "pulau" dan berfoto ria. Nah...ini menjadi sebuah bukti lagi bahwa pada dasarnya manusia adalah "homo narsistik" (manusia keranjingan foto).


Lokasi kawah putih ini sendiri berada di atas ketinggian 2194 meter dpl di area sekitar 25 Ha, dikelilingi pepohonan yang cukup rimbun. Suhunya berkisar 8 s/d 22 derajat Celcius, pastinya lebih dingin dibandingkan tempat kami menginap di Patuha Resort.


Beruntung sekali cuaca Kawah Putih dan sekitarnya cukup cerah sehingga permukaan kawah bisa terlihat dengan jelas. Padahal di sini kerap sekali tertutup kabut tebal yang menampakkan pemandangan serba putih sehingga menimbulkan kesan misterius dan angker.


Air berwarna putih kehijauan dikelilingi "pesisir" dengan pasir vulkanik berwarna ke abu-abuan terlihat kontras. Sementara di tepinya tampak endapan sulfur berwarna kehijauan menyatu dengan bebatuan.

Situs ini konon ditemukan pada tahun 1837 oleh seorang dokter sekaligus naturalis berkebangsaan Belanda keturunan Jerman bernama Franz Wilhelm Junghuhn yang tengah melakukan ekspedisi di Gunung Patuha.

Pada masa kolonial situs ini pernah dieksplorasi kandungan mineralnya, terutama sulfur. Bukti peninggalannya masih bisa kita saksikan sampai sekarang berupa sebuah gua yang tidak jauh letaknya dari jalan masuk menuju kawah. Mulut gua saat ini dipalangi kayu agar tak dimasuki pengunjung, bahkan di depannya dipasang peringatan agar tidak berlama-lama berdiri di mulut gua. Entahlah apa maksudnya.



Kunjungan kami ke kawah Putih tidak berlangsung lama sebab kami harus kembali ke Patuha Resort buat menunaikan sholat Jum'at. Sorenya sebagian rombongan meneruskan acara lain, ada yang mencoba menaiki ATV sebagian lagi memilih main paint ball atau flying fox sedangkan aku lebih memilih bbs alias bobo-bobo siang karena kecapaian.

Keesokan harinya kami bertolak meninggalkan Patuha Resort menuju Bandung sekadar mencari oleh-oleh sekaligus jalan-jalan menikmati kota Bandung yang macet. Baru setelah itu rombongan kembali ke Jakarta dengan meninggalkan seribu satu kenangan yang tak terlupakan.

Sayang... banyak obyek wisata yang tak kalah menarik dibandingkan Kawah Putih, belum sempat kami datangi. Mudah-mudahan suatu saat aku bisa kembali lagi ke mari untuk mengunjungi tempat-tempat yang belum sempat aku datangi seperti Situ Patengang, Ranca Upas dll. Tempat-tempat itu segera menjadi agendaku berikutnya.


Tuesday, May 19, 2009

Jalan Pemda Cibinong di Hari Minggu

Minggu pagi tanggal 17 Mei kemarin aku dan istri berangkat ke Cibinong untuk menengok rumah kami di daerah Cikaret. Sudah 2 minggu kami tidak ke sana karena berbagai kesibukan. Kebetulan hari itu ada janji ketemu dengan seseorang calon penyewa.

Satu hal yang membuatku malas bepergian adalah kemacetan di sekitar Stasiun Bojonggede yang sangat menjengkelkan. Kondisi jalan di situ sekarang sudah tak ada bagusnya sama sekali. Udah jalannya sempit dan berlubang-lubang, masih ditambah ulah tukang ojek yang memarkir motornya memakan 1/3 lebar jalan. Belum lagi angkot-angkot yang ngetem atau memutar seenaknya saja. Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya penyeberang jalan yang hendak masuk maupun ke luar stasiun Bojonggede.

Sebenarnya ada 2 jalan alternatif untuk menghindari kesemrawutan lalu-lintas di sekitar sini tetapi kondisinya tidak jauh berbeda. Yang satu amat bergelombang dan yang satunya lagi dipenuhi polisi tidur. Jadi kalau dipikir-pikir percuma saja ada jalan alternatif.

Meskipun begitu kali ini aku memilih melalui Perumahan Bojong Depok Baru I atau yang lebih populer dengan sebutan "Gaperi". Jalan di dalam komplek ini lumayan mulus, kecuali ruas jalan di sekitar jembatan Sungai Ciliwung yang parah banget. Aku sempat melihat beberapa spanduk warga yang isinya ungkapan kekesalan atas kinerja Pemda serta pihak-
pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi jalan perumahan ini. Ah...ternyata di mana-mana sama saja problemnya ya.

Ke luar dari Komplek Perumahan Bojong Depok II, kami bertemu dengan Jalan Sukahati menuju Pemda Cibinong. Jalan ini jauh lebih ramai, dan lebih mulus dibandingkan jalan yang kami lewati sebelumnya. Kami mengambil arah kiri hingga bertemu dengan persimpangan traffic light Jalan Baru dan Jalan Pemda Cibinong. Biasanya aku lebih memilih jalan lurus lewat Situ Cikaret yang lebih sepi pada hari Minggu, entah kenapa kali ini aku mengambil arah ke kanan yang amat padat pada setiap Minggu pagi, iseng mungkin.

Sebenarnya ada apa dengan Jalan Pemda Cibinong di Minggu pagi?
Sekadar informasi saja kalau pada setiap Minggu pagi di sepanjang jalan ini diadakan "Pasar Kaget" yang menawarkan aneka rupa barang dagangan. Bisa dikatakan segala kebutuhan yang biasa dijajakan di pasar reguler bisa dijumpai di sini. Mulai dari makanan, buah-buahan, sandang, onderdil dan asesoris kendaraan bermotor, barang kebutuhan rumah tangga, kerajinan bahkan kredit motor pun tersedia di sini. Harganya pun bervariasi tergantung kepandaian kita menawar.
Inilah sebuah dilema yang dihadapi Pemda Cibinong dan mungkin juga pemda-pemda lain di Indonesia, di satu sisi ingin menggerakkan ekonomi warga tapi sisi lainnya harus mengorbankan kepentingan warga lain yaitu pengguna jalan yang harus rela antri bermacet ria.


Pada awalnya pasar kaget ini tidak seramai seperti sekarang. Paling hanya sepertiga ruas jalan yang dipakai, itu pun berada di jalur lambat. Sekarang hampir sepanjang ruas Jalan Pemda telah habis dipakai buat lapak pedagang. Bahkan aku lihat sudah ada yang mengokupasi jalur lainnya karena tidak kebagian lahan.

Padahal Jalan Raya Pemda atau nama resminya Jalan Tegar Beriman yang tebentang mulai dari pertemuan dengan Jalan Raya Bogor di sisi Timur sampai bertemu dengan perempatan Jalan Baru dan Jalan Sukahati di sisi Barat, sejatinya adalah jalan kebanggaan warga sekaligus landmark-nya kota Cibinong.


Di sini terdapat kantor-kantor penting milik pemerintah termasuk kantor Bupati Bogor. Jalan Tegar Beriman memiliki 4 lajur jalan yang lebar dan diteduhi oleh pohon-pohon penghijauan di masing-masing sisinya. Sungguh tidak berlebihan kalau ada yang bilang suasana di sini seperti "Champ Elysee" di Perancis. Amat disayangkan bila suatu saat nanti jalan ini kehilangan pesonanya, hanya karena kebijakan kurang tepat dari Pemda setempat.

Monday, May 18, 2009

Pura Bojonggede: Di dalam keterbatasan tersimpan kedamaian

Punya rumah sendiri adalah impian setiap orang yang telah berkeluarga. Makanya begitu acara serah-terima kunci rumah dari pengembang, rasanya seperti tak percaya kalau aku telah memiliki rumah sendiri. Seluruh emosi bercampur aduk tak karuan: ada haru, lega, bangga sekaligus sedih karena harus berpisah dengan para tetangga yang selama 2 tahun telah lebur dalam kebersamaan.

Kejadian itu telah lewat 15 tahun lalu, cukup lama memang...tapi kesannya masih amat terasa sampai sekarang. Bukan sebuah gedung megah yang berdiri di sebuah permukiman elit dan terpandang, rumah kami hanyalah bangunan seluas 21 meter persegi terletak di lingkungan pedesaan di pinggiran Bogor. Konon dulunya adalah bekas perkebunan karet milik PTP yang sudah tak produktif lagi.

Komplek permukiman ini dihubungkan oleh sebua
h jalan kecil sepanjang lebih dari 1 Km hingga bertemu dengan ruas jalan raya Bojonggede ke arah Parung. Jalan penghubung itu dulunya adalah jalan perkebunan yang biasa dipakai untuk mengangkut hasil perkebunan, selain untuk jalan pintas bagi penduduk sekitarnya.

Sekarang jalan kecil itu menjadi akses utama keluar-masuk dari dan menuju komplek. Sepanjang hari terutama pada jam-jam sibuk, kendaraan hilir mudik melewatinya. Akibatnya permukaan jalan tak pernah bisa mulus bahkan rusak sama sekali di beberapa bagian.

Bukannya tak ada upaya memperbaiki, tapi upaya perbaikan yang biasanya dilakukan dengan pengaspalan apa adanya selalu tak berumur panjang karena keterbatasan dana. Maklumlah komplek permukiman ini bisa diibaratkan anak ayam kehilangan induknya sejak pengembangnya pailit pada akhir 90-an padahal mereka belum menyerahkan fasum/fasos ke pemda. Hal ini selalu dijadikan alasan buat pemda mengelak dari tanggung jawabnya.


Beruntung masih ada pihak-pihak, terutama dari tokoh masyarakat setempat yang mampu menggerakkan potensi warga. Sedikit demi sedikit jalan rusak kini telah tertutup beton tebal dan cukup nyaman dilewati kendaraan. Memang diperlukan kesabaran dan pengorbanan yang tidak kecil untuk mewujudkannya karena dana yang dipergunakan sebagian besar dipungut dari warga sekitar.


Kanan kiri jalan masuk komplek terdapat lahan tidur milik beberapa instansi. Mereka seperti sengaja membiarkannya telantar hingga lahan itu ditutupi semak belukar dan alang-alang tinggi.

Bagi orang yang baru pertama melewatinya pasti tak akan menyangka kalau di ujung jalan ini
terdapat sebuah komplek permukiman. Berangsur-angsur lahan ini kini mulai dimanfaatkan dengan ditanami aneka tanaman palawija seperti singkong, jagung atau kacang tanah. Sebuah usaha yang patut mendapat Kalpataru barangkali?


Saat ini jika kita melewati jalan ke arah keluar dari komplek, akan terlihat dengan jelas pemandangan Gunung Salak atau Pangrango yang biru. Bahkan pada malam hari yang cerah kita bisa melihat kerlap kerlip lampu jalan menuju Puncak.

Kembali ke cerita rumah di atas, sekarang setelah 15 tahun berlalu, rumahku memang sudah lebih luas dari sebelumnya. Kebetulan rumah sebelah yang merupakan kopel dari rumahku pun telah menjadi milikku sehingga 2 anakku yang kini mulai menginjak remaja tidak terlalu merasa sempit tinggal di sini. Bahkan setelah kami mampu membeli rumah baru di Cibinong yang aku anggap lebih layak huni dibandingkan rumah pertama kami, toh anak-anak tetap tak bergeming buat pindah. Mungkin bagi orang lain lingkungan perumahan kami tak ideal sebagai tempat hunian, tapi bagi kami rumah ini adalah surga yang penuh kedamaian dan kenangan indah. Alasan yang simpel ya.

Situ Kemuning: Rekreasi danau nan murah meriah.

Minggu, 17 Mei jam 17.00.

Dalam perjalanan pulang dari Cibinong ke Pura Bojo
nggede, aku sempatkan mampir sejenak ke Situ (danau) Kemuning untuk sekadar jeprat-jepret kamera karena cuaca kebetulan amat mendukung. Hari itu Bojonggede dan sekitarnya amat cerah, padahal beberapa hari sebelumnya hujan selalu mengguyur daerah ini.

Aku memotret pada saat matahari telah condong ke barat sementara posisiku agak menentang sinar matahari hingga mengakibatkan gambar-gambarnya membe
ntuk siluet. Posisi pengambilan gambar yang tak menguntungkan, meski begitu moga-moga foto-foto ini tetap bisa memberi gambaran tentang kecantikan Situ Kemuning.









Sejujurnya tempat ini sudah tidak asing lagi buatku karena hampir setiap hari (paling tidak 2 kali) aku melintasinya, baik dengan kendaraan pribadi maupun dengan angkot 117 jurusan Bojonggede-Pura. Yang disebut terakhir inilah moda transportasi yang lebih sering aku tumpangi untuk membawaku berangkat dan pulang kerja. Anehnya meskipun sering lewat tempat ini tapi nyaris tak ada niatan untuk berhenti dan menikmati suasana di sini, sementara banyak orang dari tempat yang cukup jauh menyempatkan datang kemari untuk refreshing. Ironis ya! Makanya sekarang aku mencoba membayar "ketidakpedulianku" selama ini dengan menulis blog dan mengabadikan lewat foto-foto yang sederhana.

Kalau tidak salah pertengahan tahun 90-an Situ Kemuning ini masih merupakan danau yang tak terurus, keberadaannya nyaris tak dihiraukan. Aku ingat awal-awal pindah ke Pura Bojonggede, permukaan situ ini nyaris tertutup oleh gulma air. Tanaman semacam Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) telah menutupi hampir seluruh permukaannya. Sama sekali tak ada sesuatu yang menarik perhatian di sini sehingga dari jalan yang terletak di pinggir danau, orang tidak ngeh kalau di bawah gulma air itu ada danau cantik yang tersembunyi.


Baru sekitar era 2000-an danau ini dibersihkan dan dilakukan pengerukan serta penataan, termasuk menurap tepiannya lebih rapi dan membuat tempat parkir kendaraan.
Sejak itu Situ Kemuning mulai dikenal dan menjadi tempat yang cukup representatif untuk rekreasi. Pada hari-hari libur tempat ini lumayan ramai dikunjungi. Aku sendiri heran darimana mereka tahu tempat ini. Mungkin dari informasi mulut ke mulut atau media lain seperti radio atau koran lokal, entahlah...aku jarang baca koran apalagi mendengarkan radio, sih.

Buat orang dengan kantong cekak rasanya tempat ini amat cocok sebagai sarana melepas lelah setelah seminggu bekerja keras. Selain tempatnya yang gampang dijangkau karena terletak persis di samping jalan raya Bojonggede ke arah Tonjong/Parung, tempat ini juga menyediakan sarana hiburan sehat berupa sepeda air berbentuk angsa yang bisa dipakai berkeliling danau dengan dikayuh sambil menikmati pemandangan alam sekitar danau yang indah. Kalau tak salah hanya dengan menyewa 20 ribu rupiah kita sudah bisa menaiki sepeda air ini.


Setelah capai berkeliling, kita bisa beristirahat di saung-saung yang telah tersedia sambil minum air kelapa muda atau makan makanan yang cukup beraneka. Harganya sangat terjangkau dan tak menguras isi kantong kita lebih dalam.


Kalau pun masih ada yang kurang, itu adalah sarana jalan yang masih belubang sana-sini, juga akses jalan utama di sekitar stasiun Bojonggede yang semrawut dan macet. Selain itu tempat parkir di sini masih terlalu sempit, sehingga bila jumlah wisatawan membludak rasa-rasanya tak akan sanggup menampung lagi kendaraan yang hendak parkir. Ini akan menjadi PR buat semua pihak yang bertanggung jawab terhadap kemajuan tempat wisata Situ Kemuning.


Satu hal lagi yang amat memprihatinkan adalah ulah pengembang yang tengah membangun kawasan permukiman di sekitar danau. Dari informasi yang aku dapat total luas danau sekitar 21 Ha kini telah menyusut menjadi hanya 16 Ha saja. Salah satu penyebabnya adalah kegiatan pengurugan sebagian danau yang dilakukan pengembang itu. Heran ya...kenapa mereka mengantongi ijin membangun di area yang jelas-jelas merupakan kawasan resapan air. Mungkinkah tragedi Situ Gintung akan berulang kembali? Wallahu'alam Bishawab. Semoga kekuatiranku tak terbukti.

Thursday, May 14, 2009

Senja di beranda



Sebuah pemandangan senja yang jarang terjadi di Bojong Gede belum lama ini aku abadikan lewat kamera.


Kejadiannya sih tak terduga karena kebetulan aku baru mau keluar rumah untuk menunaikan shalat maghrib di mushalla...eh tiba-tiba kulihat langit berwarna jingga kekuningan, indah sekali!

Tanpa berpikir panjang aku masuk ke dalam rumah lagi untuk mengambil kamera, dan dari beranda aku mencoba mengabadikan momen itu meski harus pakai acara manjat-manjat pagar segala mencoba angle yang bagus. Ada beberapa jepretan sih...tapi kayaknya yang layak ditampilkan cuma yang satu ini, sayang ya.

Senja dengan langit berwarna jingga yang khas dengan bias sinar matahari yang hampir tenggelam membuat bermacam siluet. Ada siluet rumah, pohon, kabel listrik yang semrawut (sayangnya udah aku hapus).

Biasanya suasana seperti ini terjadi setelah hujan reda dimana langit mulai bersih dari awan dan udara masih lembab oleh jutaan partikel air.

Walah, suasanya amat puitis sekali dan terasa begitu mistis. Orang tua jaman dulu menyebutnya sebagai wayah candikala atau sandhyakala dimana biasanya anak-anak selalu disuruh masuk rumah setiap kali saat ini tiba, konon biar gak dimakan Betara Kala. Ada-ada saja.

Suasana senja pun telah mengilhami seniman menciptakan maha karyanya. Pernah mendengar tari Bedaya Ketawang yang sakral itu, dimana tak setiap saat bisa dipentaskan...dan tak setiap perempuan boleh menarikannya? Konon tarian ini melukiskan suasana senjakala yang tintrim, hening sekaligus mistis itu. Boleh percaya, boleh tidak.