Wednesday, December 9, 2009
Cerpenku: "Elegi Marsani"
Marsani duduk bersandar di tembok stasiun. Punggungnya menempel dinding lembab sebelah WC umum. Sebuah keranjang bambu serupa bakul besar ia letakkan persis di depannya. Mulut bakul bambu ini masih disambung lembaran karton bekas dus air mineral yang ia susun secara melingkar agar lebih banyak lagi menampung puluhan bahkan ratusan buah mangga. Tangan kurus lelaki paruh baya itu tak henti meraih satu-persatu buah mangga, mengelapnya dengan kain kumal dan menyusun kembali di dalam bakul. Sinar matahari menjadikan kulitnya semakin legam saja. Kuku jari tangannya meghitam dan kusam, beberapa bekas luka sayatan masih terlihat dengan jelas di situ. Otot-otot di jari tangannya menonjol tak beraturan seperti varises di betis kaki perempuan yang habis melahirkan. Secara fisik penampilannya jauh lebih tua dari usianya. Tangannya tampak sedikit gemetar saat memegang buah mangga yang besar. Ditimangnya buah itu sesaat. Seperti sedang menaksir nilainya sebelum ia letakkan kembali di dalam bakul. Seulas senyum pun mengembang di sepasang bibir kehitaman. Harapannya semoga pembeli memberi nilai lebih bagi buah-buah yang ia jajakan.
Mulut Marsani mengeluarkan bunyi decakan pelan. Mungkin saja ekspresi sebuah keluhan, meskipun ia berusaha untuk tidak mengeluh sejauh ini tetapi ekspresi itu keluar secara spontan tanpa disadari. Kabut di mata cekungnya jelas memperlihatkan kegundahan hati. Sorot matanya yang sayu bercahaya redup menatap penuh harap berpasang-pasang kaki lalu-lalang di depannya yang terkadang berjalan pelan, kadang setengah berlari atau berhenti sama sekali. Suatu pemandangan sehari-hari yang datar dan begitu ia hapal, bahkan derap langkah itu seperti ritme musik yang selalu menemani hari-harinya, mengendap di kepala dan terbawa di dalam mimpinya. Di dalam hati ia selalu berharap ada banyak langkah kaki berhenti di depannya, melihat buah-buah dagangannya, menawar dan akhirnya memborong habis semuanya. Ia berhasrat bisa pulang secepatnya dan menghabiskan sisa hari bersama istri dan putri semata wayangnya. Tetapi tetap saja kaki-kaki itu sekadar melintas di depannya. Tak peduli sekeras apa ia berteriak menawarkan dagangannya, tumpukan buah di depannya tetap menggunung dan kembali diselimuti debu. Sudah separuh hari dilaluinya namun belum ada satu pun calon pembeli yang datang menghampirinya
Semenjak otot kakinya terasa nyeri untuk berjalan, Marsani memutuskan berhenti mengasong secara berpindah-pindah. Ia memilih berjualan di satu tempat saja tanpa harus berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, dari kereta satu ke kereta lainnya, dari gerbong satu ke gerbong lainnya, dari peron satu ke peron lainnya. Kondisi fisik tak memungkinkannya bersaing dengan pengasong yang lebih muda yang tentu saja lebih kuat tenaganya. Belum lagi kondisi kereta ekonomi sekarang yang jauh lebih padat dibandingkan dahulu. Jangankan untuk berjalan, bisa berdiri dengan tegak saja susahnya bukan main. Celakanya para petugas kereta pun tak segan-segan menyita barang dagangan apabila mereka berhasil menangkap para pengasong itu. Orang-orang ini semakin menambah pederitaan para pengasong yang kurang gesit menghindari kejaran. Bagi orang dengan kondisi seperti Marsani, KRL adalah sebuah harapan sekaligus pil pahit. Meski pun getir, tetap harus ia telan juga. Bagaimana pun juga rejeki harus diperjuangkan meski harus berebut dengan pedagang lain yang lebih gesit. Dalam hatinya ia yakin Gusti Allah selalu adil membagi rejeki kepada hamba-hambaNya yang mau berusaha.
Selama ini Marsani telah mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan penyakitnya. Segala bentuk pengobatan telah ia coba, mulai dari yang medis sampai pengobatan alternatif. Dokter Puskesmas di kecamatan pernah menyatakan bahwa kandungan asam di darahnya tinggi, di atas 7 mg% katanya. Untuk itu ia harus berpantang makanan seperti jenis kacang-kacangan, makanan laut seperti udang, kerang, cumi dan sebagainya. Dokter pun memberikan resep obat yang harus ditebus di apotek karena stok obat generik di Puskesmas telah kosong. Harganya tentu saja jauh lebih mahal. Awalnya memang berkurang rasa nyerinya, tetapi begitu obat habis, rasa nyeri di kakinya kambuh lagi. Bagi seorang pengasong seperti dia, pengobatan medis meskipun lewat Puskesmas tetap sangat menguras isi kantongnya, sehingga Marsani harus mencari alternatif lain yang lebih terjangkau. Beberapa tetangga menyarankan untuk mencoba cara alternatif dengan meminum ramuan herbal seperti rebusan daun salam dan banyak istirahat, tetapi sejauh ini anjuran tersebut tidak banyak manfaatnya. Bagaimana pun juga ia harus mengasong agar dapur rumah-tangganya tetap mengepul meski harus menahan rasa nyeri di kaki. Bila rasa nyeri itu datang, ia hanya bisa meringis menahan rasa sakit yang luar biasa sambil tangannya mengusap bagian yang sakit itu. Sedikit pun tak terlintas di hatinya untuk meratap terlebih menyalahkan Gusti Allah atas penderitaan yang menimpanya. Segalanya ia terima dengan hati ikhlas.
Sebuah kereta masuk di jalur satu dengan kecepatan tinggi. Roda-roda besi berputar menggilas rel dengan suara berderak-derak mengerikan setiap kali melindas sambungan besi panjang itu. Putaran roda-rodanya semakin berkurang kecepatannya karena jepitan rem yang terus mencengkeram cakram raksasa. Dari sela-sela antara roda bagian bawah yang menempel dengan rel keluar percikan bunga api seperti mesin gerinda. Kereta akhirnya berhenti dengan suara berdecit disusul bunyi desisan panjang mirip suara tarikan nafas seseorang sehabis berlari sprint. Penumpang turun saling berebut paling dulu. Mereka berhamburan melalui pintu yang tidak sepenuhnya bisa dibuka. Saling dorong saling sikut, seperti tipikal manusia Indonesia pada umumnya. Seorang perempuan gemuk berseragam coklat-coklat memaki dengan kasarnya. Sebuah dorongan dari belakang membuatnya terjerembab jatuh di atas lantai peron stasiun. Sebelah sepatunya terinjak kaki orang dan jatuh di kolong kereta. Ia pun harus menunggu kereta berjalan meninggalkan stasiun terlebih dahulu sebelum bisa mengambil kembali sebelah sepatunya. Marsani memerhatikan kejadian demi kejadian dengan tatapan datar. Hampir setiap saat ia melihat kejadian yang nyaris sama seperti itu. Orang berebutan naik atau turun. Orang terdorong dan jatuh. Bahkan orang memaki dan diteruskan dengan baku pukul. Seperti itulah denyut kehidupan di stasiun berlangsung setiap hari.
Berpuluh-puluh, bahkan beratus pasang kaki berjalan tergesa-gesa di depan Marsani. Seseorang sempat menyenggol ujung atas bakul dagangannya hingga mengakibatkan sebuah mangga jatuh menggelinding. Untung saja tidak terinjak kaki-kaki itu. Marsani menahan diri untuk tidak mengungkapkan rasa marahnya. Ia sadar kalau posisinya sangat lemah. Ia pun tahu kalau berjualan di peron adalah sebuah larangan, tapi baginya memang tak ada pilihan lain. Dipungutnya buah itu, diusapkannya ke kausnya yang kumal dan ia taruh kembali di tempat semula. Tanpa disadari seorang perempuan muda dengan anak kecil menggendong mobil-mobilan plastik telah berdiri di depannya, menatap buah dagangannya satu persatu dan memegangnya.
" Sekilo berapa bang?" Perempuan itu membuka percakapan.
" Biasa, teh...empat rebu rupiah saja. Kalau ambil 3 kilo boleh deh sepuluh rebu rupiah." Jawab Marsani dengan nada suara yang ramah.
" Mahal amat, bang...dua rebu aja ya?" Si perempuan menawar.
" Belum dapet, teh...belum balik modal." Suara Marsani mulai meninggi
" Ah, di atas kereta tadi dapet." Si perempuan mencari alasan sekenanya. Anak kecil di sampingnya terlihat gelisah tak sabar ingin segera pulang. Dengan sebelah tangan ia menarik-narik baju ibunya.
" Kagak dapat harga segitu, teh...apalagi ini mangga Harumanis asli... besar-besar, manis lagi. Kalau tidak percaya nih teteh coba..."
Tangan Marsani meraih sebuah potongan mangga kemudian menyodorkannya ke arah perempuan itu. Marsani mencoba tetap bersabar menghadapi calon pembeli dagangannya.
" Dua setengah dah..." Si perempuan masih belum menyerah. Anak kecil di sampingnya mulai mengeluarkan isak tangis tertahan.
" Udahlah saya turunin jadi tiga setengah, silakan tinggal dipilih." Kata Marsani sambil mengeluarkan kantung plastik hitam dari balik keranjang.
" Kagak mau, kalau boleh ya segitu...kalau nggak boleh, mending beli di atas kereta! " Kali ini si perempuan menjawab ketus sambil berjalan tergesa-gesa meninggalkan Marsani yang terbengong-bengong. Tangannya bergerak menjewer kuping anaknya dengan ekspresi penuh kekesalan. Perempuan itu pun berlalu tanpa menoleh ke belakang lagi diikuti anaknya yang berlari terseok-seok mengikuti langkah kaki ibunya yang berjalan seperti kesetanan. Jerit tangisnya sayup-sayup masih terdengar di antara hiruk pikuk stasiun.
Marsani menghela nafas panjang. Tangannya tak henti mengusap dadanya yang kerempeng. Berkali-kali ia mengucapkan istighfar serta memohon diberikan kesabaran seluas-luasnya. Ternyata memang tidak mudah mencari rejeki secara halal. Untuk mengumpulkan uang seribu-dua ribu rupiah saja ia harus menahan diri dari segala hal yang menyakitkan hatinya. Padahal seringkali harga dirinya pun ikut direndahkan. Begitulah seribu satu watak manusia yang sangat berbeda antara satu dengan lainnya yang suka atau tidak harus ia hadapi. Di stasiun itu ketabahan hatinya benar-benar diuji.
Suara tangisan anak kecil tadi membawa ingatannya kepada anaknya di rumah. Seorang gadis kecil berumur 6 tahun yang lagi senang-senangnya bermanja di pelukan orang tuanya. Sebuah percakapan tadi malam begitu melekat di benaknya. Ia ingat betapa anak itu merengek-rengek minta dibelikan seragam polisi seperti yang telah dikenakan teman-teman TK-nya. Ya, sekadar seragam polisi saja yang dimintanya yang bagi orang tua lain begitu mudah mengabulkannya. Tetapi tidak buat Marsani. Uang hasil jualannya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari serta buat modal jualan hari berikutnya. Mengutang ke orang lain tak mungkin ia lakukan karena hutang yang dulu saja belum bisa ia lunasi. Satu hal yang bisa ia lakukan hanya membujuk anaknya agar bersabar. Berkali-kali sudah Marsani membujuk putri semata wayangngya yang mengancam mogok sekolah, agar mau menunggu uangnya terkumpul dulu.Tapi memang tak mudah membujuk seorang anak kecil. Alih-alih bisa ikut merasakan kesulitan yang dihadapi orangtuanya, sekadar memahami kata-perkata yang keluar dari mulut orang dewasa saja sangat sulit buat anak seusia itu. Padahal jauh di lubuk hati, Marsani justru berharap agar buah hatinya tak ikut menanggung beban yang ia rasakan. Biarlah orang dewasa saja yang menanggung penderitaan ini. Malam semakin menua, tubuh mungil gadis itu terkulai di pelukannya. Tertidur pulas karena kelelahan mengharap sebuah keinginan yang belum terwujud. Setetes air mata jatuh mengalir membasahi pipi berpoles bedak tak rata. Marsani mengusapnya dengan lembut, menatap wajah polos di depannya dalam-dalam. Hatinya terasa pedih, seperti disayat tajamnya mata pisau. Dibopongnya tubuh itu dan diserahkan ke istrinya yang segera membaringkannya di kasur lembab. Sebuah ikat rambut berwarna merah muda hasil ngutang dari si Narno temannya sesama pengasong di stasiun, terlepas dari rambut ikal anaknya dan terjatuh di lantai. Dipungutnya benda itu dan ditaruhnya kembali di atas meja kecil dekat tempat tidur buah hatinya. Di dalam hati ia bertekad untuk segera mewujudkan keinginan anaknya hari ini, tapi mungkinkah itu? Sedangkan sesiang ini belum satu pun buah dagangannya laku dibeli orang.
Pengeras suara di stasiun membuyarkan lamunan Marsani. Sebuah kereta listrik ekonomi AC berhenti, kali ini di jalur dua. Bunyi desisan keluar lagi. Pintu-pintu terbuka lagi, kali ini pintu hidrolik semi otomatis yang dikendalikan dari kabin masinis di ujung paling depan kereta. Udara sejuk segera keluar melalui pintu-pintu berwarna keperakan itu. Satu-dua orang penumpang keluar dan masuk gerbong.Tak seriuh tadi. Maklum saja, meskipun kereta ekonomi tetapi kereta ini dilengkapi dengan AC dan beberapa kipas angin dengan tarif yang lebih mahal hampir tiga kali lipat dibandingkan harga tiket kereta ekonomi reguler. Padahal pada jam-jam sibuk kondisinya tak lebih baik dari kereta ekonomi biasa, bahkan kadang-kadang malah lebih parah. Di dalam sebuah gerbong seorang perempuan setengah baya bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju pintu dan berdiri di sana. Tangannya melambai ke arah Marsani yang dengan sigap menangkap isyarat itu. Tanpa memedulikan rasa nyeri di kakinya diangkatnya keranjang dagangannya kemudian berlari menyeberang rel jalur satu ke arah perempuan yang memanggilnya.
Keranjang berisi penuh buah mangga itu ditaruhnya di ambang pintu, sementara ia tetap berdiri di atas peron yang jaraknya dengan lantai kereta sebatas pinggangnya. Tanpa menawar lagi perempuan itu memilih beberapa mangga dan memasukkannya ke dalam kantung plastik hitam yang telah dipersiapkan Marsani. Pengeras suara berbunyi lagi memberi isyarat agar kereta segera berangkat. Wajah Marsani mulai menegang, tetapi si perempuan tetap tenang, tak peduli dengan peringatan tadi, atau barangkali memang tidak mendengarnya. Tiba-tiba pintu hidrolik itu menutup, secara refleks Marsani menarik keranjang di depannya. Tetapi terlambat, pintu terlanjur menggencet keranjang dagangannya. Ia kerahkan seluruh tenaganya menarik keranjang itu. Tetap tak bergeming. Sementara kereta mulai berjalan, Marsani pun ikut berlari di sepanjang peron mengikuti putaran roda kereta yang semakin cepat diikuti tatapan sepasang mata perempuan setengah baya yang berdiri mematung di balik pintu dengan wajah pucat pasi. Orang-orang di peron menatapnya was-was bahkan sebagian telah mengeluarkan jeritan penuh kengerian. Di atas kereta beberapa lelaki ikut membantu mendorong pintu dengan panik. Tetapi usahanya hanya menggerakkan pintu sedikit dan akhirnya kembali menutup lagi. Marsani tetap berlari menarik keranjang mangganya yang tergencet, nyeri di persendian kakinya sudah ia lupakan. Baginya keranjang itu adalah harapan satu-satunya. Ia tak rela melepasnya meski resiko yang bakal ditanggungnya begitu besar.
Jarak Marsani dengan pagar besi pembatas peron tinggal beberapa meter. Beberapa detik lagi tubuh kerempeng itu akan membentur tiang besi di depannya, tiba-tiba ia merasakan kekuatan besar menarik tubuhnya ke atas. Marsani terlempar ke udara bersamaan dengan terlepasnya keranjang dari jepitan pintu. Ia melihat dirinya dan sekelilingnya bergerak dengan kecepatan sangat lambat, seperti layaknya adegan slow motion dalam sebuah film. Dengan sangat jelas matanya melihat keranjang buahnya melayang beserta isi-isinya yang berhamburan keluar. Berputar-putar di udara sejenak sebelum akhirnya mendarat di bantalan rel, di lantai peron bahkan jatuh tepat di bawah roda-roda besi yang tanpa ampun menggilasnya. Cipratan daging buah berwarna kekuningan ikut berhamburan di udara, sebagian menempel di kolong bawah gerbong.
Pemandangan sekitarnya seketika berubah menjadi putih menyilaukan. Marsani serasa berada di sebuah lorong panjang tak berujung. Sebuah siluet yang ia kenal betul gesturnya bergerak mendekatinya. Seorang anak perempuan berikat rambut warna merah muda, serta mengenakan seragam polisi wanita berlari menyongsongnya. Kedua tangannya terentang dengan sikap seperti hendak memeluk. Tangan kanannya memegang topi dengan gerakan seperti melambai. Mendadak semua rasa sakitnya menghilang. Tubuh Marsani terasa ringan, seringan hatinya yang kini diliputi kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia pun berlari dan terus berlari dengan kegembiraan meluap-luap layaknya anak balita yang baru bisa berjalan. Disongsongnya tubuh mungil di mana di sanalah segenap kasih sayang itu tercurahkan. Marsani tidak peduli lagi di mana gerangan dirinya kini. Tak sedetik pun ia merelakan kebahagiaan yang tengah ia rasakan ini terenggut begitu saja, karena bisa jadi kegelapan panjang akan segera menghampirinya. ***
Bojong Gede, Desember 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
cerita yang menarik !!!
ReplyDeletesalam kenal, suka berkenalan dengan orang Bojong Gede dan terima kasih telah berkunjung ke blog saya.
Kurang ajar, ndadak kowe To, semprul !!!!
ReplyDeleteha...ha...pangling po, Kang?
ReplyDeleteSangat menarik..^_^
ReplyDeleteterima kasih sudah berkunjung kemari, btw namanya serem amat...insan berdarah :)
Delete