Sunday, September 27, 2009

Catatan mudik lebaran 2009

Ribuan kendaraan bermotor berbaris mengular, membentuk antrian belasan bahkan puluhan kilometer panjangnya. Lebar jalan nyaris tak tersisa karena tertutup badan kendaraan membentuk 2 sampai 3 lajur berderet tak ada putusnya. Debu mengepul menutup pandangan mata juga menyesakkan dada akibat ulah pengendara motor bahkan mobil yang tak sabar antri yang melaju dari lajur kiri yang notabene berupa jalan tanah. Matahari tepat di atas kepala bersinar dengan garangnya memanggang tanpa ampun punggung bumi. Sementara sepotong awan menggantung malu-malu di langit biru tak kuasa menjadi payung bagi ribuan makhlukNya dalam perjuangan terakhir menaklukkan hawa nafsu di ujung Ramadhan yang suci ini.

Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa berat bagi sebagian besar umat muslim dalam rangka mengekalkan tradisi mudik, pulang kampung untuk menjalin silaturahmi dengan kerabat dan handai taulan. Mereka bukan hanya harus mengalahkan diri sendiri, tetapi juga kondisi lingkungan sekitarnya yang sangat berat untuk ditaklukkan. Di jalanan ganas itu muncul hukum rimba yang purba­, siapa kuat dialah yang bertahan, siapa cepat dialah yang lebih dulu mencapai tujuan bahkan mungkin kecelakaan yang berujung kematian.

Itulah sedikit gambaran tentang mudik lebaran kali ini. Walau pun sesungguhnya sudah aku prediksi sebelumnya, tetapi kenyataannya sungguh di luar dugaan. Pemudik kali ini benar-benar tumplek di hari dan waktu yang sama dikarenakan lebaran yang mepet dengan hari terakhir masuk kerja. Tidak seperti tahun lalu yang lebih longgar karena jarak awal liburan dengan hari H-nya cukup panjang sehingga waktu mudik tak terkonsentrasi di waktu yang bersamaan. Pada lebaran kali ini nyaris tak ada jalur yang longgar baik yang lewat Utara (Pantura), tengah (Subang) maupun Selatan (Nagreg).

Saat merencanakan waktu keberangkatan, aku sempat meminta pertimbangan dari beberapa teman yang pernah memiliki pengalaman mudik sebelumnya. Seba
gian besar menyarankan untuk berangkat malam hari dengan pertimbangan umumnya para pengendara motor menghindari mudik pada waktu ini. Saran ini aku patuhi sehingga kami sekeluarga (aku, isteri dan 2 orang anak) berangkat hari Sabtu jam 1 dinihari menuju kampung halaman kami di Magelang, Jawa Tengah. Kelak terbukti ternyata teori di atas tidak berlaku sama sekali. Hampir sebagian pemudik sepertinya memiliki pikiran yang sama denganku, termasuk para pengendara motor yang sejatinya sangat ditakuti oleh mobil-mobil pribadi karena jumlahnya yang luar biasa banyak dan juga karena cara mengendara yang umumnya ugal-ugalan.

Pada awal perjalanan, kami tak mengalami hambatan berarti. Memasuki jalan tol Jakarta-Cikampek mobil mampu melaju di atas kecepatan 80 km/jam. Baru setelah hampir mencapai ujung jalan tol ini laju mobil semakin tersendat. Kendaraan dialihkan melalui Sadang tidak keluar pintu tol Cikopo seperti biasanya karena menurut informasi jalur Pantura telah padat., bahkan kendaraan pribadi disarankan lewat jalur selatan melalui jalan tol Cipularang arah Bandung. Aku memutuskan mengubah rencana semula yang memilih jalaur Pantura, sekarang berubah jalur ke selatan lewat Nagreg melalui tol Cipularang. Ada sebuah firasat tak enak tiba-tiba menyergapku.

Menjelang subuh kami berhenti di sebuah rest area tidak jauh dari pintu tol Cileunyi. Kesempatan ini kami pergunakan untuk beristirahat dan melaksanakan kewajiban agama, yaitu shalat subuh. Buatku yang terjaga semalamam karena harus nyetir masih tersisa sedikit waktu buat tidur sejenak.


Menjelang jam 7 pagi, kami mulai meninggalkan rest area menuju pintu tol Cileunyi yang tinggal beberapa kilometer lagi jauhnya. Masya allah...lebarnya jalan tol ternyata telah dipenuhi kendaraan yang bergerak secara beringsut, sangat pelan menuju gerbang keluar. Dari informasi yang kudapat lewat radio, ternyata arah menuju pintu tol Cileunyi ini telah macet semenjak dini hari tadi. Mulai dari sinilah awal perjuangan berat seperti yang aku gambarkan di awal tulisan ini dimulai. Sebuah perjalanan panjang yang seperti tak berujung yang nyaris membuatku frustrasi bahkan ada keinginan untuk balik arah kembali ke rumah. Untung di sebelahku duduk seorang "navigator" yang selalu bersemangat memotivasi aku untuk maju terus.

Praktis sepanjang hari Sabtu itu kendaraan kami hanya bergerak sedikit demi sedikit dari Cileunyi menuju Cicalengka ke arah Nagreg yang berjarak sekitar 12 Km. Seperti mengalami de javu karena kami pernah mengala
mi kejadian yang sama beberapa tahun lalu di sini, hanya saja waktu itu ikut bersama kami seorang supir kantor yang hendak mudik ke Gombong sehingga kami seperti memiliki sopir gratisan...inilah yang disebut dengan simbiosis mutualisme, hubungan timbal-balik saling menguntungkan.

Kemacetan yang kami alami kali ini jauh lebih parah dibandingkan kemacetan di jalur yang sama beberapa tahun lalu. Waktu itu hanya Nagreg saja yang menjadi titik kemacetan, tetapi kali ini hampir sepanjang Cicalengka-Nagreg-Malangbong kendaraan hanya bisa bergerak dalam kecepatan berkisar 10 Km/jam bahkan mungkin kurang. Satu hal lagi yang membuat kendaraan amat tak nyaman dikendarai adalah kondisi jalan yang menanjak dan berliku-liku, sehingga banyak mobil dengan kondisi tak laik jalan terpaksa harus didorong menepi karena mogok. Alhamdulillah mobil kami baik-baik saja bahkan sampai balik ke Bogor pun, mobil tak mengalami gangguan yang berarti.


Kemacetan mulai terurai setelah melewati Malangbong memasuki daerah Ciawi. Kendaraan kami terus melaju menuju Rajapolah di daerah Tasikmalaya. Sepanjang jalan mata kami jelalatan mencari tempat untuk menginap karena waktu telah menunjukkan jam 9 malam. Rasanya terlalu berat buatku meneruskan perjalanan malam itu karena lelah mata dan tubuh sudah di atas batas toleransi. Daripada berisiko tinggi makanya kami putuskan mencari penginapan di sekitar sini saja.

Diiringi gema takbir bersahut-sahutan di sepanjang jalan yang kami lalui, kami terus mencari penginapan malam itu. Dari informasi seorang tukang parkir di depan Masjid Raya di jalan raya Rajapolah kami dapatkan keberadaan s
ebuah hotel di pinggir jalan raya arah Tasikmalaya. Hotelnya kecil, sekelas hotel melati lah tetapi suasananya amat tenang dan bersih. Malam itu kami tidur dengan nyenyaknya, bahkan suara takbir yang terdengar sayup-sayup tak putus-putusnya sepanjang malam semakin membuai kami larut dalam mimpi sampai subuh menjelang.

******************

Suara azan subuh membangunkanku. Aku segera bangkit menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kulirik istriku yang masih terbaring di tepi ranjang, ternyata ikut terbangun juga demi mendengar derit pintu kamar mandi terbuka. Sementara kedua anak kami masih terlelap tidur. Pagi itu setelah usai shalat subuh dan mandi, kami segera berkemas-kemas menuju
masjid guna melaksanakan shalat Iedul Fitri.

Sungguh sebuah lebaran yang aneh, tanpa sanak saudara maupun kerabat yang kami kenal, tanpa ketupat dan opor sebagai menu wajib lebaran bahkan tanpa hidangan apa pun dari hotel dikarenakan koki hotel pun ikut mudik lebaran. Kami berempat hanyalah musafir di tempat asing yang berada di tengah komunitas orang-orang yang tak kami kenal sama sekali.

Tempat shalat kami adalah sebuah masjid kecil di dalam sebuah komplek pondok pesantren dimana jamaah yang hadir sebagian besar adalah penghuni pondok ditambah beberapa penduduk lokal. Komplek ini letaknya beberapa ratus meter di belakang hotel menyeberangi suatu cekungan yang kupikir sebuah kali, ternyata adalah jalur kereta api. Suasananya terasa hening khas suasana pedesaan di daerah Priangan.

Ah iya... bukankah beberapa waktu lalu daerah sekitar Tasikmalaya ini yang paling parah terkena gempa? Ternyata memang benar...kami masih sempat melihat beberapa rumah retak-retak yang di depannya masih berdiri tenda darurat, bahkan pada saat perjalanan menuju Ciamis usai meninggalkan hotel ini masih sempat aku saksikan sebuah masjid yang menaranya telah runtuh sebagian menunggu benar-benar runtuh secara total.


Ditingkahi suara bedug yang ditabuh anak-anak kecil secara serampangan, shalat Iedul Fitri pun dimulai...tentu saja suara imam bersaing dengan bunyi bedug. Dan bunyi bedug ini masih berlanjut saat khatib menyampaikan khotbahnya...sangat tidak jelas terdengar. Kalaupun seandainya bisa terdengar dengan jelas tetap saja kami tak paham maksudnya karena khotbah disampaikan dalam bahasa Sunda. Hanya karena mengingat bahwa mendengarkan khotbah merupakan salah satu kesempurnaan shalat Iedul Fitri sehingga kami tak meninggalkan masjid lebih awal.


Ada hal aneh yang selama ini tak pernah aku jumpai di daerah asalku di Magelang maupun tempat tinggalku di Bojong Gede yaitu adanya beberapa buah meja yang diletakkan di sekitar masjid. Di atas meja tersaji hidangan berupa ketupat, kerupuk serta beberapa panci besar, barangkali isinya sayur berkuah semisal opor ayam. Aku rasa hidangan di atas meja itu khusus diperuntukkan buat acara makan bersama seusai shalat. Istriku dan anak perempuanku yang kebetulan mendapat tempat di dalam masjid pun mendapat tawaran makan bersama tetapi mereka menolaknya dengan halus. Bukan bermaksud menolak rejeki...hanya karena kuatir mengambil porsi para santri, itu saja.


Sesampainya di hotel, suasana telah sepi. Para penghuni hotel yang semalam ramai menginap sekarang hanya hanya tinggal satu-dua orang saja. Rupanya mereka bernasib seperti kami juga yang kelelahan di jalan dan memutuskan menginap barang satu malam. Begitu rasa lelah hilang mereka buru-buru meneruskan perjalanan menuju ke kampung halaman masing-masing, mungkin trauma dengan kemacetan kemarin. Tidak jelas apakah mereka sempat melaksanakan shalat Iedul fitri seperti kami apa tidak.


Tanpa mau berlama-lama, kami segera check-out dari hotel untuk meneruskan perjalanan menuju Jawa Tengah. Tujuan kami selanjutnya adalah Cilacap tempat kakak tertua istri menetap, dimana kebetulan beliau baru saja keluar dari RS karena menderita sakit.
Tidak lupa kami mampir dulu di sebuah rumah makan di daerah Rajapolah, Tasikmalaya, dan memesan nasi goreng buat sarapan pagi. Tanpa kami ketahui ternyata rumah makan ini pun menyediakan masakan khas Sunda berupa lalapan beserta ikan asin goreng dan aneka sambal yang kami sukai. Sayang kami telat mengetahuinya, tapi kami bertekad suatu saat nanti jika melewati tempat ini kami pasti akan mencobanya.

Matahari telah tergelincir di ufuk Barat tanda waktu telah memasuki Ashar ketika kami tiba di Cilacap. Di kota ini kami hanya menginap semalam saja, dan keesokan harinya pada hari Senin, 21 September pagi kami segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju kota kelahiran kami, Magelang.

******************

Kendaraan kami melintasi jalanan bergelombang sepanjang jalur yang menghubungkan kota-kota bagian Selatan Jawa Tengah menuju ke Timur. Jalan di sini umumnya datar dan lurus, hanya saja banyak tambalan di sana-sini sehingga tidak nyaman dilalui roda.
Sangat kontras kondisinya dengan jalan di Ciamis ke arah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah yang relatif mulus dan terawat, jalan di sini sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari pemda setempat. Hal yang menarik adalah deretan para penjual dawet ayu yang menggelar dagangannya di sepanjang tepi jalan raya ini yang secara fisik bentuk dan warnanya amat seragam, dengan kuali tanah liat yang dikerudungi kain berwarna hijau cerah...entah apa maksudnya. Bagaimana pun juga kita tak tak perlu kuatir kehausan saat melewati ruas jalan ini.

Keluar dari dari kota Purworejo lewat jalan alternatif, aku melihat deretan pegunungan menjulang di Utara. Tiba-tiba kurasakan kerinduan yang amat sangat untuk segera tiba di kota kelahiranku Magelang... karena di balik deretan pegunungan itulah kotaku berada. Jalanan terasa sekali menanjak disertai beberapa tikungan tajam di kawasan Margoyoso, sebuah kawasan yang terkenal keangkerannya saat aku masih kecil. Dahulu memang sering terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa manusia di sekitar sini. Alhamdulillah aku bisa melewatinya dengan selamat.


Selepas waktu Ashar kami pun memasuki kota Magelang yang disambut sejuknya udara kota ini, sebuah suasana yang aku rindukan dimana pun aku berada. Kami menginap di rumah orang tuaku yang kecil dan tua, seperti wajah ibuku yang kini telah mengeriput di sana-sini dengan rambut yang memutih sempurna. Aku seperti diingatkan oleh waktu yang cepat berlalu..tanpa terasa, tahu-tahu kita semua telah menua...
Di tempat inilah aku menjalani masa kanak-kanak sampai menginjak masa remaja. Bagaimana pun kondisinya, masa lalu memang selalu indah untuk dikenang.

Pagi hari usai shalat subuh kami bertiga ( aku, isteri dan Ari ) memutuskan jalan-jalan menuju Taman Kyai Langgeng. Beberapa objek aku abadikan lewat kamera di HP anakku.
Diantaranya adalah berupa lukisan mural di sepanjang dinding di jalan... (ah aku lupa namanya) yang jelas dulu jalan ini bernama Singoranon. Ternyata seniman Magelang pun tak kalah kreatifnya dibandingkan seniman dari daerah lain.

Kami berjalan berbelok ke kiri melewati sebuah jalan bernama Raharjo terus belok kanan ke sebuah gang kecil, sebuah tempat dimana seorang sahabat kecilku dulu pernah tinggal di sini.
Kondisi dan suasananya nyaris tak berubah dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu, didominasi rumah berarsitektur tua dengan suasana nya yang sepi.

Melewati sebuah masjid yang hampir seluruh halamannya telah tertutup atap di bagian atasnya, kami berjalan sampai di sebuah sekolah yang amat melegenda di Magelang, SMA Negeri 1 Magelang dengan bangunan bertingkat yang masih kokoh berdiri hingga sekarang. Sudah begitu banyak tokoh penting negeri ini yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah ini.


Kami pun tiba di depan pintu masuk Taman Kyai Langgeng, sebuah tempat yang aku kenal betul bahkan sebelum tempat ini dibangun menjadi kawasan wisata yang cukup dikenal di mana-mana.
Dulu waktu kecil aku suka bermain di sini mencari tanah liat, mencari belut di sawah bahkan berkemah. Waktu itu tempat ini masih berupa sawah dengan beberapa pancuran mandi. Suasananya sepi dan wingit, maklum dekat dengan sebuah makam kuno yang konon adalah salah seorang tokoh pengikut Pangeran Diponegoro bernama Kyai Langgeng. Makam kuno ini sampai sekarang masih terawat dengan baik.

Setelah puas menikmati pemandangan di depan taman, kami segera kembali ke rumah dengan tidak lupa melewati sebuah sekolah dasar yang penuh kenangan: SD Kemirirejo 1.
Jalan menuju sekolah ini membentuk sebuah koridor yang berujung pada sebuah pintu gerbang. Kondisi sekolah ini telah jauh berbeda dibandingkan saat aku dulu bersekolah di sini. Halamannya telah tertutup dengan paving block, sedangkan bangunannya sendiri sekarang telah menjadi dua tingkat, jauh lebih megah dan modern. Kabarnya sekarang SD Kemirirejo 1 & 2 telah digabung jadi satu bernama SD Kemirirejo 1. Beberapa memorabilia kawasan ini sempat aku abadikan, diantaranya adalah sebuah rumah yang dulu halamannya ditumbuhi sebuah tanaman sejenis jeruk yang sering dipetik secara iseng oleh anak-anak untuk mengilapkan kuku jari. Sayang sepertinya tanaman ini telah lama hilang dari rumah itu.

Siangnya kami putuskan berkeliling Magelang guna mengunjungi kerabat dengan tujuan silaturahmi. Sebelumnya kami mampir ke Makam Giriloyo yang terletak tepat di depan Kampus AKMIL. Di makam terbesar di kota inilah sebagian besar anggauta keluargaku beristirahat dengan damai, diantaranya adalah kakek, bapak dan 3 adikku.
Di komplek pemakaman ini terlihat tidak ada pemisahan yang jelas antara makam muslim dan non muslim, semuanya menyatu tanpa ada jarak, apalagi sebagian makam Kristen yang sekarang jadi pertokoan di jalan Ikhlas pun telah dipindahkan kemari.

Ada sebuah makam terkenal yang sampai sekarang masih sering ramai diziarahi. Itulah makam seorang pesohor yang namanya identik dengan film-film Indonesia bergenre mistik dan horor, dialah Suzanna.
Uniknya, makam ini terdiri dari 3 makam yang disatukan yang terdiri dari makam Suzanna sendiri, anak lelaki yang kabarnya tewas terbunuh dan seorang kakak perempuan Suzanna. Sayang untuk sebuah makam seorang artis besar sekaliber Suzanna cara penulisan epitafnya masih sederhana yaitu dengan cara dicat. Padahal seandainya dibuat dengan sistem pahatan seperti gaya makam Belanda kuno, barangkali hasilnya akan jauh lebih artisik.

Hari itu kami menginap semalam lagi dan pada keesokan hari kami berkemas-kemas menuju Semarang untuk mengunjungi rumah paman sekaligus mampir ke rumah baru adik iparku yang baru saja pindah dari Makassar. Cukup lama kami menunggu kedatangan saudara ipar di Magelang. selepas Ashar barulah mereka tiba.
Kami pun segera menuju ke makam almarhum bapak mertua di daerah Cacaban untuk nyekar, dilanjutkan bersilaturahmi ke rumah tetangga kanan kiri rumah mertua yang sekarang telah dikontrakkan, padahal rumah inilah yang dulu jadi base-camp kami selama di Magelang.

Pada Kamis pagi setelah menginap semalam di rumah adik ipar (adik bungsu isteriku) kami pun berangkat meninggalkan Semarang untuk kembali ke Bogor. Berbeda saat perjalanan mudik ke Jawa Tengah, perjalanan kami saat itu amat lancar tanpa ada hambatan apa pun. Bahkan kami tiba di rumah sebelum Maghrib, sebuah catatan tersendiri buat kami tentunya karena selama ini kami selalu tiba selepas Isya. Ah sebuah bentuk keseimbangan yang Allah ciptakan buat kami: menderita di awal tetapi manis di akhir...Allah memang Maha Adil! Segala kepenatan dan rasa frustrasi di awal perjalanan seperti terlupa saat kami tiba dengan selamat di rumah.


Magelang, tunggulah kunjungan kami berikutnya...

Monday, September 14, 2009

Dan ketika kenangan itu




:untuk sahabatku, EmWei

Gang kecil lengang
tak bosan menanti
entah pada siapa
rindu dialamatkan

Sebuah jalan berundak ke arah masjid
dan rumah tua di mana tinggal gadis belia
merajut hari di antara cinta dan bunga-bunga
juga burung-burung gereja
yang sesekali hinggap di beranda

Lalu rekahlah seulas senyum
di ranum kelopak gladiol
dan sebuah percakapan panjang
yang tak terucapkan
tentang masa lalu yang lindap

Sahabat kecilku,
aku percaya sebagian jiwa telah kau titipkan di sana
bersama dentang mengalun lonceng sekolah
bersama derap kaki-kaki kecil di rumput basah

Dan ketika kenangan itu terpaksa kau tanggalkan
dari sebuah tempat yang mewariskan kasih sayang
aku sadar, hanya itu yang bisa kutulis tentangmu
lewat puisi ini, sebagai lambang persahabatan abadi

Nun di sana, dalam kedamaian sebuah rumah
ada wanita dewasa bersama cintanya
di antara bunga-bunga dan barangkali burung gereja
yang sesekali hinggap di beranda

'tuk menjenguknya

(Jakarta, 18/09/09)

Thursday, September 3, 2009

Belajar dari ilalang

Bulan Juli yang baru lalu genap 15 tahun sudah aku tinggal di Pura Bojong Gede. Lima belas tahun sebenarnya bukan waktu yang pendek. Namun kenangan saat boyongan ke tempat ini masih terbayang jelas di kepala. Kegiatan boyongan yang terpaksa kulakukan karena masa kontrak rumah yang kutempati habis. Untungnya rumah baruku sudah siap ditempati, meski dengan segala keterbatasan. Gak ada dapur, gak ada listrik, gak ada tetangga dan sepanjang malam tidur diiringi nyanyian jangkrik serta desau angin musim kemarau, tapi hidup terasa indah seperti lantunan lagu 'What a Wonderful World'- nya Louis Armstrong yang setiap saat mengalun dari tape bututku. Beruntung pula aku memiliki seorang istri yang sabar dan tabah yang hampir setiap hari aku tinggal sendirian di rumah tanpa rasa takut ataupun mengeluh.

Hanya berbekal perabotan seadanya—karena memang hanya benda-benda itu yang kupunya—aku memulai babak baru di sini. Tinggal di tempat terasing nun jauh di pelosok sana. Sebuah pinggiran kota Bogor yang dikelilingi padang prairie. Hah, prairie? Kayaknya lebih tepat disebut padang ilalang, deh! Prairie jauh lebih eksotis dan indah, pastinya.
Tapi justru padang ilalang itulah yang memberiku sebuah inspirasi. Sebuah renungan tepatnya.

Orang Betawi bilang 'tempat jin buang anak', untuk menggambarkan tempat tinggalku yang terpencil, jauh dari keramaian. 15 tahun kemudian tempat ini bukan lagi tempat 'jin buang anak' , tapi jadi tempat 'anak jin buang bapak'. Boleh jadi karena banyak manula yang 'dibuang' di sini oleh anak-anaknya. Sementara anak-anak para manula ini sibuk dengan urusan masing-masing dan tentu saja lebih memilih tinggal di kota.

Satu hal yang tak berubah di tempat itu adalah padang alang-alang tadi.
Sepanjang jalan masuk permukiman yang terlihat hanyalah rumpun ilalang dan ilalang. Nyaris tetap sama dibandingkan saat 15 tahun lalu pertama kali kujamah tempat ini.
Kalau saja rumpun ilalang ini adalah ladang gandum atau padi-padian yang bisa dikonsumsi manusia, pastilah cukup buat makan orang sekampungku selama berbulan-bulan tanpa harus bersusah payah menanamnya. Tapi ia hanyalah tanaman yang nyaris tak berguna. Bahkan kehadirannya justru dibenci manusia. Ajaibnya tanpa ditanam, tanpa dipupuk, tanpa dirawat, ilalang ini tumbuh dengan suburnya. Sementara lebih sering kita mendengar keluhan para petani yang gagal panen meski segala cara telah diupayakan untuk memaksimalkan hasil panenannya. Ironis memang.

Pelajaran moral yang bisa dipetik adalah hidup mesti diperjuangkan. Tak mungkin dengan ongkang-ongkang kaki manusia mampu mencukupi kebutuhannya. Tuhan menyediakan sarananya, manusia mengolahya menjadi sesuatu yang berguna buat kelangsungan hidup mereka. Semak belukar, padang ilalang harus diubah jadi ladang-ladang subur yang bisa menghasilkan makanan. Dan semua itu harus dilakukan dengan kerja keras dan keteguhan hati. Tanpa itu semua mustahil kehidupan sejahtera tercapai.
Andai saja kita mampu memahami isyarat-isyarat ini, mungkin krisis yang menimpa bangsa kita tak akan sedahsyat saat ini. Tuhan mengajar manusia lewat apa saja. Isyarat-isyarat itu ada di sekeliling kita. Tak terkecuali lewat rumpun ilalang yang nyaris tak berarti.