Wednesday, July 29, 2009

Penipuan Berkedok Casting Sinetron

Senin malam sesaat setelah tiba di rumah sehabis lelah bekerja seharian, aku merebahkan punggung yang pegal di sandaran kursi sambil menikmati segelas teh hijau hangat. Sementara kedua anakku dan ibunya asyik dengan kegiatan masing-masing. Ari asik main gitar di kamar, sedangkan Ratri dan ibunya lebih suka nonton TV.

Tiba-tiba Ratri menghampiriku dengan ekspresi penuh harap, aku hapal banget dengan ekspresinya ini...pasti ada maunya.

"Pak, tadi siang sehabis pulang sekolah adik ditawarin sama orang untuk jadi figuran di sinetron, boleh nggak...boleh ya?" Begitu rengeknya membuka percakapan kami.

"Hah...main sinetron? Gak salah, dik...main sinetron itu tak semudah yang kau kira...syaratnya ketat dan mereka tak gampang mengambil orang sembarangan. Terus, siapa yang ngajak kamu?" Tanyaku dengan perasaan lumayan kaget dan penasaran.

"Seorang mbak-mbak..."

"Kamu kenal dia?"

"Tidak..."

"Kalau tidak kenal kenapa kamu percaya?"

"Soalnya temen-temen adik juga diajak... besok setelah jam sekolah, orangnya mau motret kami dulu sebelum syuting."

Instingku sebagai orang tua langsung muncul begitu mendengar penuturan anak gadisku yang tengah beranjak remaja ini. Ada beberapa hal yang membuatku curiga, sepertinya ada maksud tertentu di balik ajakan yang amat menggiurkan itu. Dengan panjang lebar kujelaskan padanya dan tentu saja dengan menjabarkan beberapa kemungkinan yang terjadi jika dia memenuhi ajakan orang yang tak dikenal.

Sungguh aku dibuat risau dengan sikap anak gadisku semata wayang ini yang belakangan cenderung semaunya, keras kepala dan mudah ngambek apabila yang dikehendaki tak dituruti. Kata-kata wejangan yang diucapkan orang tua sampai berbuih-buih pun terkadang hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Rupanya sebelum minta ijin kepadaku ia telah merayu ibunya terlebih dulu. Seperti sudah bisa ditebak, pendapat ibunya pun ternyata sama dengan bapaknya. Ya iyalah...mana ada sih orang tua yang mau anaknya celaka?

Obrolan malam itu pun akhirnya diakhiri gerutuan anakku dan bunyi pintu kamar dibanting. Ya Allah...mudah-mudahan Kau luaskan kesabaran kami dan Kau bukakan mata hati putri kami.
Dan malam pun kian larut dalam hening.

***********


Pagi harinya semua berjalan seperti biasa, sebuah rutinitas yang selalu kami jalani setiap hari. Kedua anakku mencium tangan bapak ibunya berpamitan hendak berangkat sekolah. Ari saat ini duduk di kelas X SMA Negeri 2—rupanya tengah menikmati kebanggaan menjadi bagian "the putih abu-abuers"—sedangkan Ratri masih duduk di kelas VIII SMP Negeri 6. Ekspresi wajahnya tak menampakkan sisa kekesalan tadi malam. Kami berdua pun melepaskan keberangkatan mereka dengan senyum. Semoga saja petuah-petuah yang kami berikan tadi malam ada manfaatnya.

Sore hari sehabis ashar, henponku yang tergeletak di atas meja kerja berbunyi. Suara ibunya anak-anak dari seberang sana.

" Assalamualaikum...pak, koq si Ratri belum pulang juga ya? Jangan-jangan dia ikut ajakan orang itu..." Ada nada kuatir dari suaranya.

Deg...jantungku serasa berhenti berdetak. Kulirik jam di komputerku menunjukkan pukul lima lebih. Biasanya tak sampai selarut ini Ratri berada di sekolah, sementara henponnya ia tinggalkan di rumah dalam keadaan baterai habis. Ibunya yang bermaksud menghubungi teman-teman sekolah yang tercatat di henponnya pun mengalami kesulitan membukanya, sedangkan aku masih berada di kantor. Dalam kondisi seperti ini hanya doa yang bisa kami panjatkan semoga anakku baik-baik saja.

Waktu bergulir, sore pun mendekati ambang senja...sebentar lagi adzan maghrib dikumandangkan. Di puncak ketegangan yang kurasakan, mendadak henponku berbunyi lagi...suara ibunya anak-anak lagi.

" Assalamualaikum...anaknya udah pulang nih pak. Panjang sekali ceritanya...nanti aku ceritain di rumah aja..."

Cesss...jantungku mendadak dingin serasa disiram air. Meskipun begitu hati merasa tak tenang dan penasaran dengan apa yang dialami anakku tadi ditambah perasaan jengkel karena omonganku yang tak dipatuhi. Setelah shalat Maghrib kuputuskan segera berkemas dan pulang.

Jam setengah sembilan malam aku tiba di rumah. Kulewati kamar anak perempuanku yang tertutup rapat, sepertinya ia ketakutan dan merasa bersalah sehingga lebih memilih mengurung diri di kamar. Dari penuturan isteriku baru aku tahu cerita sebenarnya meskipun tak selengkap bila keluar dari mulut anakku sendiri.

Ceritanya si Ratri dan gengnya (kalau tidak salah berlima) diajak wanita itu ke sebuah tempat pencetakan foto yang lokasinya tak jauh dari sekolah. Mereka diminta meminjamkan hp dan kamera (kebetulan ada seorang anak yang membawa kamera digital pinjaman) buat memotret masing-masing anak. Yang mengherankan si perempuan ini memiliki hp canggih (mirip BB) tapi kenapa justru meminjam hp anak-anak yang kualitasnya masih di bawah miliknya. Bahkan perempuan itu menolak menerima foto cetak yang dibawa seorang anak dengan suatu alasan yang dibuat-buat.

Pada sebuah sesi pemotretan di mana anak-anak ini disuruh rebah di lantai dengan posisi miring membelakangi kamera. Kesempatan itu dimanfaatkan si perempuan untuk kabur dengan membonceng sepeda motor RX King yang ternyata telah menunggu di luar. Dengan demikian berakhirlah acara casting pura-pura ini. Kini tinggal sekelompok anak perempuan dengan seribu penyesalan, sadar telah kena tipu perempuan tadi. Sebuah henpon dan sebuah kamera digital melayang di depan mata mereka.

Kejadian ini telah dilaporkan ke polisi oleh orang tua salah seorang murid. Untuk itu anak-anak harus jadi saksi di kantor polis, akibatnya semua anak pulang terlambat. Si Ratri sempat menghubungi rumah untuk memberi tahu ibunya tapi karena rumah kosong jadi tidak ada yang mengangkat telepon. Kenapa tidak nelpon bapaknya di kantor? Jawabannya simpel, tentu saja karena dia takut dimarahi gara-gara telah mengabaikan omongan bapaknya.

Aku melihat ada sebuah pergeseran cara anak-anak generasi sekarang menatap masa depan. Sebuah pencapaian (baca: prestasi) yang dilewati dengan suatu proses yang membutuhkan usaha dan keseriusan mulai ditinggalkan. Mereka lebih menyukai jalan pintas—segala sesuatu yang dicapai secara instan. Dalam hal ini pengaruh media masa amat besar, terutama televisi. Media ini ikut bertanggung jawab menciptakan generasi hedonistik, dimana segala hal diukur dengan kebendaan. Bagi anak-anak yang baru berkembang secara fisik dan emosional, mereka mudah sekali dipengaruhi. Kondisi seperti ini dimanfaatkan dengan baik oleh para penipu yang tahu benar psikologi anak remaja.

Kami sebagai orang tua merasa beruntung anak-anak telah kembali dengan selamat. Apa jadinya kalau mereka mengalami hal-hal yang kami takutkan misalnya penculikan yang saat ini tengah marak di kalangan anak usia sekolah, lebih jauh lagi mengalami trafficking, suatu bentuk perdagangan manusia...naudzubillahimindzalik!
Semoga saja pengalaman ini bisa menyadarkan anak perempuanku agar lebih berhati-hati melangkah menuju kedewasaan.

2 comments:

  1. bisa gak media massa, terutama televisi ini, digugat semacam class action dari masyarakat?

    ReplyDelete
  2. Aku rasa sih bisa, tapi buat apa? hasilnya udah bisa kita tebak koq...
    Yang lebih penting justru peranan orang tua dalam mengawasi juga memilihkan program yang sesuai dan bermanfaat bagi anak-anaknya, ini yang jadi PR kita semua...terima kasih atas komennya om Danu.

    ReplyDelete