Monday, July 27, 2009

Curhatan Seorang Penglaju

Pagi itu, waktu menunjukkan jam delapan kurang dua menit, angkot yang kunaiki merayap memasuki jalanan di sekitar stasiun Bojong Gede yang rusak dan macet. Seperti inilah suasana sehari-hari di sini, serba semrawut karena angkot dan ojek pada ngetem sembarangan di tempat yang tak semestinya. Kondisi jalannya pun, minta ampun...sempit dan berlubang-lubang lebih pantes buat angon bebek. Sungguh mengherankan, kondisi jalan sudah separah itu tapi belum ada tanda-tanda mau diperbaiki.

Terdengar klakson KRL melintas dari arah Bogor memasuki stasiun Bojong Gede, tanp
a berpikir panjang aku turun dari angkot terus berlari menuju stasiun (tentunya setelah bayar ongkos). Ini kulakukan untuk menghemat waktu daripada harus nungguin angkot masuk terminal dulu.

Dengan nafas ngos-ngosan sampailah aku di peron stasiun dan hampir saja nabrak orang yang antri tiket. Mendadak lututku melemas saat melihat KRL ekonomi itu berlalu meninggalkan stasiun dengan suara klaksonnya yang panjang membahana. Meninggalkan diriku dengan mulut melongo sambil menatap pantat kereta itu menjauh kemudian lenyap di tikungan. Sungguh keterlaluan... tak memahami perasaan orang yang mati-matian mengejarnya umpatku dalam hati. Jam menunjukkan pukul delapan lewat dua menit. Kekecewaanku pertama pagi itu.

Langkahku terasa berat menyusuri sepanjang peron stasiun. Biasanya mata suka jelalatan kemana-mana mencari penampakan yang bening-bening dan wangi-wangi. Tapi kali ini otakku lagi males berfikir ke arah sana. Meskipun kecewa, aku pendam perasaan itu dan berharap semoga kereta berikutnya segera tiba

Ting tong ting tong...suara dari pengeras suara stasiun mengumumkan posisi KRL berikutnya. Suaranya bersaing dengan suara pengajian dari masjid seberan
g. "Mohon perhatian...KRL ekonomi jurusan Jakarta yang berangkat dari stasiun Bojong Gede pukul 08.15, hari ini keretanya DIBATALKAN berhubung rangkaiannya mengalami gangguan". Gubraaaaakkk...!!! Atap peron serasa runtuh menimpa kepalaku.

Aku menyumpah semampuku (lagi-lagi hanya di dalam hati)...KRL y
ang diharapkan bisa jadi pengobat kecewa malah membuat kekecewaanku semakin bertumpuk . Inilah kondisi KRL kita itu teman. Setiap hari ada saja kereta yang dibatalkan. Kalau pun jalan, bisa dipastikan cuma 1 set rangkaian yang terdiri cuma 4 gerbong. Padahal untuk menunggu kereta ini butuh waktu lebih dari 1 jam setelah kereta-kereta "terhormat" (Ekspres AC dan Ekonomi AC) dipersilakan jalan duluan. Inilah kekecewaanku yang ke-dua pagi ini.

Mungkinkah ini taktik dagang dari PT KAI untuk secara pelan-pelan mengkondisikan para penumpang berpindah ke kereta AC kemudi
an mematikan kereta ekonomi sama sekali? Bukan bermaksud suudzon sih, tapi rasanya analisa ini cukup masuk akal. Terlebih lagi jauh hari sudah terdengar kabar burung kalau PT KAI bakal menghapus KRL ekonomi. Aku jadi bertanya dalam hati bagaimana nasib para pedagang tangga dan bangku-bangku kerajinan dari bambu yang setiap hari memanfaatkan jasa kereta murah dan merakyat ini? Masihkah mereka diperbolehkan mengangkut barang-barang bervolume besar itu ke dalam KRL ber-AC, seandainya KRL ekonomi benar-benar dihapuskan?

Aku perhatikan sejak PT KAI Divisi Jabotabek bertranformasi menja
di PT KAI Commuter, kondisi per KaErEl-an bukannya semakin rapi malah jadi acakadut. Ada saja gangguan setiap hari. Banyak kereta tua dipaksakan jalan sehingga berakibat mogok dan mengganggu kelancaran perjalanan, karena jadwal terganggu penumpang jadi menumpuk, karena penumpang menumpuk KRL jadi penuh sesak, karena membawa beban melebihi kapasitas KRL jadi sering rusak dan mogok. Begitu seterusnya, berputar seperti lingkaran setan. Sejauh ini belum ada upaya signifikan untuk mengatasinya, misalnya dengan mengganti KRL yang lebih fresh. Bukankah selama ini PT KAI sering mendapat hibah KRL bekas dari Jepang? Kenapa kereta-kereta itu lebih diprioritaskan untuk KRL ekonomi AC dan Ekspres? Terlihat sekali kalau PT KAI Commuter pilih kasih.

Setiap jam-jam sibuk (saat pagi dan petang hari) penumpukan penumpang terj
adi hampir di semua stasiun. Pindah ke KRL ekonomi AC? Setali lima uang (biar gak bosen tiga diganti lima) alias sama aja atau malah lebih parah. Dalam kondisi gerbong penuh sesak dan pintu tertutup, dinginnya air conditioner pun sudah tak berpengaruh sama sekali. Gerbong jadi pengap karena penuh karbon dioksida akibatnya dada rasanya sesak buat bernafas. Aku pernah mengalami kondisi seperti ini bahkan nyaris pingsan.

Silakan dipikir...kalau naik kereta bertarif Rp 5.500,- saja kita masih belum mendapatkan pelayanan yang memadai, bagaimana dengan nasib saudara-saudara kita yang hanya mampu naik KRL ekonomi bertarif Rp 1.500,- sampai Rp 2.500,-?
Nasib para penglaju (baca: commuter) memang tak pernah berubah da
ri dulu meskipun pengelolanya berganti-ganti nama dan bentuk.

Tak bisa dipungkiri masih banyak penumpang KRL ekonomi yang tak b
eli tiket. Kelakuan mereka ini boleh jadi dipengaruhi sikap pengelola KRL sendiri yang tak tegas bertindak, bahkan sering terkesan permisif atau barangkali malah takut? Parahnya lagi lantas digeneralisasi kalau penumpang KRL ekonomi pada umumnya tak beli tiket. Padahal yang disiplin membeli tiket dan kartu abunemen pun tak kalah banyaknya. Kalau saja mereka lebih tegas dan berani mengambil sikap, pastilah alasan merugi yang suka digembar-gemborkan para pemegang otoritas perKaErElan itu takkan terdengar lagi.

Kulirik jam tanganku, menunjukkan pukul sembilan kurang tujuh menit. Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya KRL yang ditunggu pun tiba. Kondisinya jangan ditanya lagi...penuh sesak sampai banyak penumpang yang duduk di atap. Kalau udah begini masalah keselamatan diri cuma jadi prioritas ke sekian, pokoknya bisa sampai tujuan aja udah bersukur. Dengan mengerahkan segenap tenaga aku berhasil masuk ke dalam gerbong yang pengap.

Sebenarnya bisa saja kuputuskan naik KRL ekonomi AC yang berangkat duluan seperti yang biasa kulakukan setiap kali terjadi masalah seperti ini. Kali ini aku berusaha tidak tunduk pada taktik dagang pengelola KRL terlebih hatiku sudah kesal banget...biarlah telat sekalian.

Aku memilih posisi di dekat sambungan gerbong dengan harapan mendapatkan tempat lebih lega. Perkiraanku meleset ternyata posisi ini telah "dikuasai" segerombolan orang yang dengan santainya duduk lesehan tak peduli sama penumpang lainnya yang rela berdiri dan menahan dorongan dari arah luar agar tak ambruk menimpa orang-orang yang sedang "tahlilan" ini. Di KRL ekonomi terlhat sekali karakter umum orang Indonesia yang komunal, artinya lebih senang berkelompok dalam sebuah komunitas. Mungkin ini sebuah upaya mereduksi segala tekanan hidup ya? Karena penumpang KRL umumnya memang bukan dari golongan yang serba berkecukupan.

Jam sepuluh lebih tiga menit aku sampai di kantor. Sejam yang lalu, janji dengan seorang teman sudah aku batalkan. Meski dengan perasaan tidak enak dan malu dengan teman-teman yang udah datang lebih pagi, kupaksakan juga untuk bersikap wajar saja...toh mereka juga tak akan bertanya macam-macam. Gara-gara KRL semua yang aku jadwalkan pagi itu berantakan...inilah kekecewaanku ke-tiga kalinya.

Sungguh tak nyaman jadi seorang penglaju (baca: commuter). Ini bukan pilihan hidup tapi sebuah keterpaksaan, apalagi harus menggantungkan diri pada sebuah moda transportasi bernama Kereta Rel Listrik (KRL) ekonomi yang para pengelolanya tak pernah berpihak kepada kami, para penumpang kelas teri.

No comments:

Post a Comment