Wednesday, July 15, 2015

Sebuah sketsa di akhir malam Ramadhan

Usai shalat Isya di Masjid Al Ikhlas samping kantor, aku beringsut mengambil tempat di belakang untuk menunaikan shalat sunnah sekaligus menunggu shalat taraweh dimulai. Inilah malam terakhir buatku shalat di sini karena esok sudah memasuki hari libur.
Deretan jamaah yang tak seberapa banyaknya terlihat lengang, sangat kontras suasananya dibandingkan saat awal Ramadhan dulu. Di baris ke dua, seorang bapak yang sudah uzur yang jalannya selalu dipapah dua anak muda di sampingnya duduk di atas kursi lipat. Ia salah seorang yang masih setia menghabiskan malam Ramadhan di masjid ini. Ikut hanyut bersama jamaah lain dalam lantunan ayat2 suci yang keluar dari bibir seorang hafidz, imam kami.
Tiba-tiba rasa sedih itu menyeruak dari lubuk hati. Pemandangan di depan ku ini akan segera berakhir. Hanya tinggal menyisakan sekeping ingatan kemudian terlupakan. Bangku lipat itu akan segera jadi rongsokan dan dibiarkan teronggok di gudang. Mushaf-mushaf dibiarkan kembali berdebu di sudut ruangan. Pun lantai beralas karpet hijau tebal tinggal menyisakan jejak-jejak kehitaman.
Yang pasti bahwa Ramadhan akan segera pergi. Tak peduli dirindukan atau tidak, ia akan selalu datang dan datang lagi. Hanya kita yang memilki keterbatasan waktu untuk tetap setia menyambutnya...mencumbunya dan mereguk madu darinya...dan perpisahan itu pun kini telah nyata di depan mata. Selamat jalan.

Malam 28 Ramadhan 1436 H

Thursday, June 25, 2015

Setelah Ibu Pergi

















setelah ibu pergi
masih adakah yang tersisa darimu?

sebuah kota tua letih yang terus menggeliat
meski obesitas dan osteoporosis menggerogotinya
padahal di sudutmu dulu sering ku lelap di punggung ibu
dalam selimut jarik lurik lusuh sobek dan berdebu

kini ingatan itu bahkan kian menyiksa
tentang rumah tua beraroma lumut
yang semakin keropos dan hampa
sesepi gundukan tanah dan kuntum kering kamboja
berserakan di atasmu, tempat tetirah abadimu,
tempat ku bersimpuh berkabar duka
penawar perih luka menganga

setelah ibu pergi
masih adakah sisa rindu untukmu?

—8 Ramadhan 1436—

Thursday, October 9, 2014

di Sepanjang Jalan Desa

Sepedaku bergerak seiring kayuhan kakiku pada pedal. Ban bergerigi menggilas jalanan desa yang telanjang tanpa lapisan semen apalagi aspal hot mix. Hanya tanah merah dan butiran kerikil yang melapisinya. Bunyi gemeretak terdengar ketika ban beradu dengan butiran kerikil, sebagian melejit tanpa terkendali.

Di depanku si sulung lima tahun usianya duduk di kursi plastik yang didisain khusus untuk balita, terlihat gembira. Wajahnya berseri seperti sinar Matahari pagi yang menembus sela rumpun bambu, menciptakan bayangan teduh di bawahnya. Kolam ikan, dengan pancuran bambu memancarkan air bening. Sungai kecil yang selalu setia mengairi sawah di sekitarnya begitu asing di matanya yang bening. Tapi ia begitu menikmati perjalanan ini, tak peduli badannya bergoncang karena jalanan yang tak rata bersama sepeda kreditan dari kantor dengan angsuran yang lama lunasnya.

Itu dulu, lebih dari lima belas tahun lalu, namun kenangannya tetap membekas meskipun belasan tahun telah terlewati. Sulungku kini telah menjelma jadi mahasiswa semester 5 yang tengah sibuk dengan dunia kampusnya. Sepedaku pun telah lama teronggok di sebuah sudut rumahku menjelma besi tua, sedangkan bangku plastik kecil itu entah kemana perginya, tak ketahuan rimbanya.





Sekarang jalanan desa yang dulu sepi masih terentang sepanjang tiga kilometer. Menghubungkan dua kecamatan, Tajurhalang dengan Bojonggede. Hanya saja wajahnya kian berubah. Kini berlapis semen yang sebagian sudah mengelupas, menyisakan lubang dan butiran koral. Masih saja lengang meskipun sebagian orang lebih senang melewatinya karena jarak yang relatif pendek dibandingkan jalan utama yang terentang sejauh delapan kilometer. 

Jalan ini juga yang setiap hari aku lewati dengan motor saat pagi berangkat kerja dan malam ketika pulang. Masih sepi, masih menyisakan kerindangan dan kesejukan udara pagi. Masih pula terdengar suara binatang malam ditingkahi gemerisik daun bambu saat Matahari tenggelam di balik peraduannya. Namun sampai kapan semuanya akan bertahan? Manusia beranak pinak semakin banyak. Pepohonan ditebangi. Jengkal demi jengkal luas tanah berkurang untuk hunian. Tidak berlebihan bila sebentar lagi jalanan desa yang lengang ini pun tinggal menyisakan cerita.


 





Tuesday, September 2, 2014

di Sepenggal Bandung



Menyusuri jalan setapak di kerindangan pepohonan dalam hembusan samirana sejuk membuatku lupa akan hiruk pikuk kotaku yang penat. Gymnasium yang megah, gedung-gedung jangkung, teriakan riang remaja berlatih softball, sorak sorai anak-anak sekolah lab school, sekelompok kecil calon cendekia yang duduk di lantai berdiskusi bersama laptop di pangkuannya. Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin mereka risau panggilan rindu kampung halaman dan pertanyaan penuh harap dari bapak: kapan kamu pulang bawa ijazah?

Sejenak ku palingkan muka memandang gedung tua nan anggun Villa Isola. ada ribuan kata tak tuntas dituliskan untuk sekadar mengisahkan kecantikan buah karya Charles Prosper Wolff Schoemaker itu. Barangkali ia terinspirasi oleh sebuah kisah tentang "sepotong surga yang tertinggal di bumi." Surga yang mulai memudar karena kerut-kerut dan bopeng di wajahnya. Jika ia buku tentu setiap halamannya dipenuhi ribuan coretan kisah yang tak berkesudahan. Seumpama tembok ratapan tentu badannya penuh luka sayatan.

Namun di sini aku mulai bisa mengingat wajahku sendiri yang sekian lama terlupa bukan karena amnesia, tapi karena aku kehilangan penandanya. Penanda itu kini menjelma nyata di depan mata. Pada gedung tua, jalanan teduh dan udara pagi yang menguar bau rerumputan.

Bandung, 16 Agustus 2014

Thursday, March 7, 2013












ALIENASI 2


Masa kecilku hanyalah riuh garengpung
di pucuk-pucuk pohon asem belanda
riang menyambut musim pancaroba

Masa kecilku hanyalah sepeda butut bapak
yang setia menapaki jejak basah pematang
diiringi nyanyian parau kodok dan belalang

Tapi kota itu telah merampas ingatanku
hingga remah terakhir kata yang sulit
kueja meskipun dengan terbata

Remuk diriku serupa kembara asing
sasar dalam kebisuan hari-hari
di tengah deru kebisingan kota

: yang khianat pada kenangannya sendiri

(lembah Tidar, 25 maret 2013)

Monday, July 16, 2012

Mengunjungi Jiwa-Jiwa Sepi Penghuni Makam Belanda di Kebun Raya Bogor

Sebuah iring-iringan bergerak perlahan menyusuri jalan tanah berlapis kerikil. Serombongan orang berbusana hitam-hitam berjalan teratur nyaris tak terdengar langkah kaki mereka. Tak ada suara, hanya ketukan pelan stik pada drum para serdadu yang berjalan di belakang kereta jenazah, menciptakan ritme monoton. Meski begitu di bagian belakang rombongan, sesekali masih terdengar isak tangis beberapa wanita bergaun lebar dengan topi berhiaskan pita. Sepertinya mereka keluarga dekat mendiang.

Di ujung jalan iring-iringan berhenti. Mereka kini tiba di sebuah area terbuka dikelilingi rumpun bambu yang lebat. Enam orang menurunkan peti mati dari kereta. Tiga berdiri di sisi kiri, tiga lainnya di kanan. Tembakan salvo terdengar sahut menyahut. Enam orang bergerak pelan menuju sebuah altar kayu dan menaruh peti mati di atasnya. Nyanyian requiem terus menerus diperdengarkan oleh sekelompok orang. Suara mereka menciptakan gema berpadu gemerisik daun bambu tersapu sejuknya semilir angin pagi Buitenzorg.

Seberkas sinar terang tercipta saat sinar matahari menerobos paksa celah rimbun dedaunan. Seakan menegaskan kesaksiannya atas drama kepedihan di atas permukaan tanah basah sehabis hujan semalam. Usai misa arwah diucapkan, sebuah lubang menganga telah siap menyambut jazad orang penting di dalam peti kayu menuju tetirah panjangnya. Sebelum matahari berada tepat di atas ubun-ubun, prosesi pemakaman itu pun purna sudah.

Siapakah orang yang dikuburkan? Kenapa begitu banyak orang menangisi kepergiannya? Peran apa yang telah ia mainkan? Ah, pertanyaan-pertanyan itu silih berganti menyerbu rongga kepalaku manakala aku tersadar tengah berdiri di antara puluhan monumen batu. Diriku terasa larut dalam pusaran waktu, serasa kembali ke masa lalu.

Inilah untuk kali pertama aku berdiri di areal pemakaman ini meski Raden Saleh atau Cornelis Rappard telah lama mengabadikannya dalam sebuah lukisan yang indah. Namun ketika bisa hadir dan melihat secara langsung objek yang pernah mereka hadirkan di kanvas, bisa kurasakan sebuah pengalaman batin yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Dari sini aku merasa memiliki jawaban atas sebuah pertanyaan mendasar, kenapa pelukis sebesar itu mau berlama di tempat sesepi ini? Bisa jadi karena alasan simpel: passion dan romantisme!

Adalah teman-teman dari komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya yang menggagas acara ini. Makam Belanda, hanya salah satu dari beberapa agenda napak tilas ke Kebun Raya Bogor pada hari Minggu, 18 Juli 2012 lalu. Semua objek yang kami kunjungi umumnya menarik, namun Makam Belanda yang tersembunyi di tengah hutan bambu itu telah mampu menyedot fokus perhatianku. Bahkan untuk benar-benar terlibat secara emosi dan merasakan atmosfernya, aku sempatkan diri mengunjunginya kembali tiga hari kemudian sambil memanfaatkan hari libur ketika warga Jakarta tengah mengikuti pesta demokrasi pemilukada.

****************

Makam Belanda terletak tidak jauh dari halaman belakang Istana Bogor. Meskipun demikian bila mata kita tidak awas melihat petunjuk arah yang tersedia, kita akan kesulitan menemukannya. Tempat ini tertutup oleh vegetasi rerumpunan bambu yang cukup lebat sehingga menutup pandangan mata kita dari jalan utama.
Beberapa sumber mengatakan komplek makam ini sudah ada sebelum Kebun Raya Bogor dibangun. Makam Cornelis Potmans bertanggal 2 Mei 1784 disebut-sebut sebagai yang tertua. Sedangkan yang termuda adalah makam A.J.G.H. Kostermans, seorang ahli botani yang meninggal pada 10 Juli 1994 di Jakarta. Total terdapat 42 makam, 4 diantaranya tidak teridentifikasi karena batu identitas makam yang telah rusak atau hilang dari tempatnya.

Dengan perlahan mataku mengikuti larik-larik huruf membentuk kata yang terpahat di atas batu alam. Sebagian lagi dicungkil dari lempengan marmer yang kusam karena pengaruh cuaca. Bahkan beberapa di antaranya telah sulit dibaca karena tergerus air atau tertutup lumut. Sebagian besar kata selain menjelaskan identitas penghuni makam juga berisi kalimat-kalimat penghiburan kepada pihak yang ditinggalkan. Ada juga yang menukil ayat dari Alkitab. Secara umum ada tiga bahasa yang dipakai di sini yaitu, Belanda, Inggris dan Latin.

Menarik mencermati motif hias di makam terbesar sekaligus terindah milik Ary Prins, seorang hakim, politikus, dan negarawan Belanda. Semasa hidupnya pernah menjadi wakil presiden Dewan Hindia, bahkan pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda sementara sampai 2 kali.

Pada bangunan makam dengan bagian atas menyerupai obelisk ini terdapat berapa ornamen unik. Ada simbol bintang bersudut enam, seekor kupu-kupu (atau ngengat?) di dalam lingkaran menyerupai karangan bunga. Satu lagi simbol unik di bangunan makam lelaki kelahiran Schiedam, 28 Agustus 1816 dan meninggal di Batavia, 28 Januari 1867 ini adalah Ouroboros, sebuah simbol kuno berbentuk ular menggigit ekornya sendiri. Secara umum sering diartikan sebagai infinity atau perlambang keabadian, merupakan gambaran sebuah siklus hidup yg berulang dari kelahiran-kematian-kelahiran, dan seterusnya.

Makam Dominique Jacques de Eerens, Gubernur Jenderal Hindia Belanda antara 1836-1840 cukup mudah dikenali karena ia berada tepat di depan pintu pagar komplek makam. Meskipun dia seorang pembesar yg pernah berkuasa pada jamannya namun bentuk makamnya justru terkesan sederhana. Kabarnya ia meninggal mendadak pada 30 Mei 1840 di Buitenzorg ketika masih aktif menjabat sebagai Gubernur Jenderal.

Ada lagi makam yang menarik perhatianku, apalagi ini termasuk yang disebut-sebut pada papan keterangan yang dipasang di depan komplek makam. Inilah makam dua orang sahabat karib yang tak terpisahkan bahkan ketika keduanya telah sama-sama dipanggil Yang Maha Kuasa. Makam dengan bentuk dasar persegi empat dengan sebuah pilar mini berdiri di atasnya menyimpan jazad dua orang peneliti muda, naturalis sekaligus ahli zoologi bernama Heinrich Kuhl dan Conraad van Hasselt.

Dua anak muda jebolan Unversitas Groningen ini datang ke Indonesia dalam rangka tugas penelitian atas dana NCNI (The Natuurkundige Commissie voor Nederlandsche Indie). Kuhl meninggal 14 September 1821, delapan bulan sejak kakinya menginjak bumi Indonesia karena infeksi hati yang diakibatkan iklim juga faktor kelelahan. Van Hasselt menyusulnya pada 8 September 1823 ketika melakukan perjalanan penelitian ke Banten.

Selain pejabat pemerintah dan ilmuwan, komplek makam juga “dihuni” oleh keluarga dekat pejabat tinggi masa kolonial, baik itu isteri maupun anak yang meninggal ketika masih balita. Di antaranya ada Elizabeth Charlotte Vincent, isteri ke dua Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Ia meninggal pada 14 Agustus 1851, kurang dari dua bulan setelah bayi perempuan yang dilahirkannya meninggal dunia.

Ada juga Jeannette Antoinette Pietermaat, istri Gubernur Jenderal Pieter Mijer (1866-1872). Lahir pada 6 Juli 1816 dan dikuburkan di sini pada 8 April 1870. Atau Makam dari seorang putra yang terlahir meninggal dari Jean Chrétien Baud (Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang memerintah sejak 2 Juli 1833 - 29 Peb 1836) dengan Ursula Susanna van Braam di Bogor, 23 September 1834. Tercatat juga sebuah nama J.H.L.O. (Johannes Hendrik Lodewijk Otto), putra Gubernur Jendral Graaf Johannes van den Bosch (memerintah 1830-34), lahir 20 November 1834 dan meninggal pada 20 Juni 1836, dalam usia dua tahun.

Menarik untuk dicermati, saat fakta menunjukkan mayoritas penghuni makam di sini meninggal dalam usia relatif muda. Kebanyakan meninggal akibat penyakit tropis yang belum ada obatnya. Terlepas dari predikat penjajah yang melekat pada mereka, sesungguhnya mereka adalah orang-orang malang. Bagaimana tidak? Sebagian dari mereka datang dari negeri jauh demi mengharapkan perubahan nasib di tanah baru. Sebagian besar bisa kembali dengan selamat pulang ke negeri asalnya, namun tak sedikit yang meninggal di sini, di tanah asing dalam kondisi kesepian dan merana. Jadi, masih relevankah dendam warisan itu kita pertahankan?

Dan ketika matahari telah condong ke Barat, aku putuskan meninggalkan komplek pemakaman yang sarat aura kesedihan ini. Gemerisik daun bambu terdengar serupa rintihan ketika satu persatu pengunjung meninggalkan mereka kembali dalam sepi. Rasa itu terulang kembali persis seperti ketika serombongan orang-orang berbaju hitam dan kereta pengantar mulai meninggalkan gundukan tanah merah usai melaksanakan prosesi pemakaman mereka, puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Mereka tinggal terbujur sendiri di tanah dingin ini.

Di sebuah tikungan di balik rerumpunan bambu saat kakiku mulai melangkah menjauh, lamat-lamat seperti kudengar suara ratapan memelas D.J. de Eerens, memohon maaf atas kebijakan tanam paksa yg telah menyengsarakan nenek moyangku dahulu. Juga atas sikap tamak bangsanya terhadap bangsaku. Aku cuma bisa mengangguk pelan dan berkata dalam hati, setinggi apapun kedudukan mereka di masa lalu, mereka cuma manusia biasa dengan segala kelemahannya. Sehingga dengan tetap membiarkan dendam itu mengkristal dalam diri, hanya akan memperberat langkah kaki ini.***(th)
(Bogor, 16 Juli 2012)

*diolah dari berbagai sumber

Monday, September 26, 2011

Setelah 17 Tahun

Ini tahun ke-17 aku bersama keluargaku tinggal di sini, suatu permukiman yang menempati areal bekas hutan karet milik Perum Perhutani. Sebuah tempat di mana desau angin dan suara alam begitu akrab di telinga pada awalnya. Namun lambat laun berganti dengan keriuhan suara anak-anak bermain yang terasa semakin banyak saja. Bahkan bising kendaraan bermotor seperti tak pernah berhenti sepanjang hari.

Inilah sebuah permukiman yang dulu pernah masuk wilayah Kecamatan Bojong Gede dan sejak 2006 masuk wilayah Tajur Halang bersamaan dg pemekaran wilayah Kecamatan Bojong Gede saat itu. Meski begitu tak serta merta melepaskan embel-embel Bojong Gede di belakang nama komplek permukiman ini.

Begitulah lingkunganku ini, meskipun mulai padat namun masih menyisakan kehijauan di sana-sini sehingga semilir udara sejuk masih terasa pada saat-saat tertentu. Namun entah sampai kapan semua itu bertahan di tengah pertambahan manusia yg seakan tak terkontrol lagi, dimana mau tak mau harus membutuhkan ruang untuk hunian. Apakah di waktu yang akan datang masih bisa kita temukan kehijauan seperti ini lagi? Entahlah. Foto-foto ini akan menjadi saksi pada perubahan yang tengah berlangsung.