Monday, November 30, 2009

Rumah Darah (Bagian I)

Ini adalah sebuah kisah tragis dan mengerikan yang pernah terjadi di suatu pinggiran sebuah kota di Jawa Barat. Nama kota dan daerah sengaja tak ditulis untuk menghindari stigma buruk yang mungkin terjadi. Beberapa tokoh dan jalan cerita sengaja dibuat untuk tujuan dramatisasi tanpa mengurangi bobot cerita asli.


***************


Padang ilalang di sebuah bukit dalam balutan senja temaram. Angin basah bertiup semilir tertusuk rinai gerimis yang mulai menetes dari langit. Jutaan butiran halus air berloncatan ke bawah tiada henti membasahi dedaunan, tanah, bebatuan dan segala yang ada di atas punggung bumi. Tiba-tiba malam mengusir dengan paksa senja dari singgasananya yang tak berumur lama. Dan kegelapan pun segera bertahta, menguasai hamparan tanah berkontur perbukitan itu.

Langit kelam tanpa bintang. Mendung tebal telah menutup dengan sempurna cahaya dari angkasa. Hamparan tanah berbukit itu kini menjelma menjadi sebentuk siluet hitam menyeramkan. Pendar-pendar cahaya lampu memancar dari celah-celah ilalang, pertanda adanya sebuah kehidupan di balik punggung bukit. Di situlah terhampar suatu permukiman penduduk yang tidak terlalu padat, berupa deretan rumah-rumah sederhana yang membentuk blok-blok. Para penghuni rumah-rumah ini umumnya berasal dari golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan orang-orang yang lebih mampu secara ekonomi tetapi lebih senang tinggal di daerah pinggiran yang masih hijau dan sejuk udaranya. Tampak dari jauh kerlap-kerlip cahaya lampu rumah sederhana itu seperti kunang-kunang di malam hari.

Sebuah jalan beraspal menghubungkan permukiman ini dengan “dunia luar.” Jalan yang jauh dari kesan mulus, karena sebagian besar aspalnya telah terkelupas di mana-mana meninggalkan lubang menganga dan menampakkan butiran batu koral yang telepas dari ikatannya. Semak belukar berupa tanaman perdu dan ilalang tumbuh dengan liar di tepi jalan. Sebagian tanaman itu menutup tepian jalan yang tak terlalu lebar sehingga terasa semakin sempit. Jalan ini sangat gelap di malam hari karena tanpa lampu penerangan sama sekali. Nyaris tak ada bangunan berdiri di tepi jalan, hanya hamparan lahan kosong dan semak ilalang. Suasananya terasa menyeramkan terlebih bagi yang baru pertama kali melintas di malam hari, besar kemungkinan ia tak akan pernah mau lagi menjamah tempat ini untuk yang kedua kalinya. Beberapa sopir taksi yang pernah mengantarkan penumpangnya kemari selalu menolak dengan halus apabila ditawari order yang sama.

Jalan beraspal berakhir ketika bertemu dengan sebuah gerbang yang menandai pintu masuk komplek permukiman. Gerbang itu berupa tiga pilar utama terbuat dari batu bata dengan ujung atasnya berbentuk piramida. Dua pilar berdiri di dua sisi jalan berseberangan yang masing-masing memiliki pasangan sebuah pilar kecil dihubungkan oleh sebuah tembok berlubang-lubang vertikal dengan lengkungan di sisi atasnya. Pilar yang satu lagi berdiri di tengah-tengah, membagi jalan masuk menjadi 2 jalur. Sebuah jalur hijau yang ditumbuhi alang-alang memisahkan dua jalan masuk itu.

Pemandangan jalan beraspal berubah menjadi susunan paving blok yang kondisinya sudah tak rata lagi. Permukaan batu cetak campuran antara semen dan pasir itu telah terkikis oleh cuaca dan di beberapa bagian amblas ke dalam tanah sehingga membentuk cekungan berisi air hujan. Tetapi dibandingkan jalan aspal sebelumnya, kondisi jalan paving blok ini masih jauh lebih baik, meskipun bergelombang namun tidak berlubang.

Lampu penerangan jalan yang berada di atas jalur hijau itu telah lama mati. Tiang-tiang betonnya masih tegak berdiri meskipun ada juga yang sudah condong seperti hendak roboh. Lampu bohlamnya pun masih terpasang di tempatnya, tetapi sudah tak berfungsi lagi. Hanya lampu –lampu rumah dan bangunan tempat usaha yang berdiri tidak jauh dari jalan ini masih “berbaik hati” menyisakan sedikit cahayanya di atas permukaan jalan.

Hamparan tanah lapang berbentuk lingkaran menjadi “alun-alun”nya komplek permukiman ini, meskipun sejatinya diperuntukkan sebagai taman dan ruang hijau. Sebuah pohon Banyan tumbuh tepat di tengah-tengah, di antara hijau rumput yang botak di beberapa bagian. Satu dua pohon palem masih mampu bertahan tumbuh di tepi lingkaran.Yang lain telah lapuk dimakan rayap atau kering terkena sambaran petir. Beberapa lampu taman berbentuk bulat pernah terpasang di sini, namun sekarang tak tersisa sama sekali. Bola kacanya telah lama hancur akibat ulah tangan-tangan iseng. Tiang berupa pipa besi pun telah raib, barangkali telah berubah menjadi besi kiloan di tangan pemulung. Suasana di sini amat temaram di malam hari, sebuah suasana yang sepertinya memang diinginkan oleh segelintir orang.

Di tempat inilah aktivitas warga berlangsung. Waktu sore hari dalam kondisi cuaca yang cerah terlebih pada liburan akhir pekan, “alun-alun” ini begitu ramai. Para pedagang mendirikan tenda melingkar mengelilingi taman. Para orang tua membawa anak-anak mereka jalan-jalan sore sambil menikmati jajanan. Beberapa anak muda bergerombol duduk-duduk di atas rumput di bawah pohon Banyan sambil bercengkerama. Sebagian lagi duduk berpasangan memisahkan diri, cenderung mencari tempat yang sepi. Tetapi suasana malam ini tidak seperti biasanya. Gerimis yang turun sejak sore tadi membuat warga lebih memilih mengurung diri di balik tembok batako rumah. Sebagian diantaranya malah telah terlelap dibuai mimpi. Karena sepi pembeli, para pedagang pun memilih menggulung tendanya lebih awal, merapikan dagangannya dan berkemas pulang. Tanah lapang itu kini terlihat semakin lapang dan sepi. Sesekali kilatan cahaya langit menerangi rimbun dedaunan pohon Bayan membentuk bayangan hitam di rerumputan sekitarnya dalam sekejap, kemudian gelap lagi..

Tak jauh dari lapangan berbentuk lingkaran dengan melewati jalan yang aspalnya nyaris tak tersisa, ada sebuah gang dengan portal besi tertutup sepanjang hari. Saking jarang orang dan kendaraan melewati gang ini menjadikan permukaan jalannya ditumbuhi lumut karena lembab. Sebuah bukti nyata sifat ambigu manusia. Di satu sisi mereka memerlukan akses jalan untuk lewat tetapi mereka juga yang sengaja menutupnya.
Guguran daun bambu kering terbawa angin dari rumpun bambu di sekitarnya berserakan tak tersentuh sapu lidi. Tak jauh dari portal besi ini berdiri sebuah pos ronda seluas 2X2 meter beratapkan lembaran asbes, berlantai semen dengan sebuah tikar plastik yang telah berlubang karena satu per satu ikatan anyamannya mulai terlepas. Sebuah suasana dingin dan senyap langsung menyergap sejak pertama kali langkah kaki memasuki wilayah ini.

Seorang lelaki berperawakan sedang dengan tubuh agak kurus duduk sendirian di dalam pos ronda. Sebatang rokok kretek terselip di jari tangan kanannya. Hembusan asap putih keluar dari mulut dan hidungnya membumbung naik ke langit-langit seperti asap knalpot. Ruangan 2X2 meter itu kini berselimut kabut tipis asap rokok. Perlahan-lahan kabut itu lenyap tersapu hembusan angin dari kisi-kisi jendela. Ruangan memutih lagi ketika asap dihembuskan, kemudian lenyap lagi terbawa angin malam. Begitu seterusnya.

Menilik rambut yang mulai berwarna keperakan serta banyaknya kerutan-kerutan menghias wajahnya, pastilah ia seorang lelaki paruh baya. Usianya memang telah melewati setengah abad, usia yang tak ideal lagi bagi seorang dengan profesi penjaga malam seperti dirinya.. Tetapi dengan sedikit alternatif pekerjaan yang tersedia, maka tak ada pilihan lain bagi wak Asep (demikian orang memanggilnya) harus berlapang dada menerima profesi ini. Di saat orang lain terlelap dalam balutan selimut hangat, ia harus rela menahan rasa kantuknya sepanjang malam demi menjaga lingkungannya tetap aman. Padahal resiko yang ditanggungnya sangat tak sebanding dengan honor yang ia terima.

Malam semakin menua dengan gerimis yang tak kunjung reda. Suara-suara manusia telah lenyap teredam tebal tembok rumah mereka. Yang tertinggal hanya desau angin di sela-sela rumpun bambu diiringi nyanyian jengkerik dan kodok di selokan. Gesekan batang bambu beradu menimbulkan jeritan nan memilukan, ngilu terasa di hati. Tetes air di atas asbes bagaikan sebuah irama monoton, hanya volumenya saja yang berubah. Kadang keras, kadang pelan tergantung dari frekuensi dan volume air hujan yang mengguyur.

Wak Asep melirik jam butut di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam beserta angka-angkanya telah lenyap, tertutup embun yang menempel di kaca bagian dalam. Untuk menguapkan butiran embun, ia gosokkan telapak tangannya ke permukaan kaca. Akibat hangat yang ditimbulkan dari gesekan kulit dan kaca, sedikit demi sedikit terlihatlah angka-angka di balik kaca jam tangannya.

“Ah…sudah jam setengah dua belas rupanya. Sebentar lagi waktunya keliling.” Ia menggumam perlahan.

Kepalanya melongok ke arah gang berharap masih ada warga yang terjaga untuk menemaninya main catur atau kartu domino bila jumlahnya memungkinkan. Atau paling tidak ada teman ngobrol sebagai pengusir rasa kantuk yang sering menyerang di saat seperti ini. Tapi gang itu tetap senyap. Siluet manusia yang ia harapkan muncul dari balik tikungan dan menghampiri pos rondanya tak pernah terwujud. Sinar lampu neon di tikungan hanya menampilkan garis-garis vertikal bening air hujan yang jatuh, meliuk-liuk terbawa angin, layaknya rambut perempuan.

Sayup-sayup terdengar lolongan anjing dari arah kampung yang jauh. Suaranya menyeramkan, menimbulkan efek kengerian bagi siapa pun yang mendengarnya.

“Malam yang aneh, kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tak enak ya?” Kembali wak Asep menggumam, melontarkan sebuah pertanyaan kepada dirinya sendiri.

Nada kuatir terdengar dari suaranya yang tercekat. Ia merasakan suasana berbeda dibandingkan malam-malam sebelumnya. Kakinya terasa lemas untuk berdiri dan menopang badannya. Kelopak mata dirasakannya berat untuk selalu terbuka dan terjaga. Berkali-kali mulutnya terlihat menguap tanpa bisa ditahan lagi padahal sudah segelas kopi ia habiskan. Sebuah puntung rokok ia matikan. Itulah batang rokok ke-4 yang sudah ia hisap sejak ia datang kemari, padahal malam baru hendak mencapai separuhnya. Lantai ubin di ruangan sempit itu kini tampak kotor oleh abu dan puntung rokok berserakan. Sebenarnya kalau mau bisa saja ia tinggalkan pos ronda ini kemudian pulang ke biliknya. Melarikan diri dari rasa takutnya dan bersembunyi di balik selimut kumalnya, tetapi tanggung jawab terhadap tugas melarangnya melakukan tindakan tercela itu. Baginya pantang mengkhianati tugas yang diamanahkan kepadanya meskipun tak sepadan dengan imbalan yang ia terima. Itulah sifat keteladanan yang dicontohkan justru oleh seorang penjaga malam sebuah kampung kecil di pinggiran sebuah kota.

Wak Asep berusaha bangkit dari posisi duduknya, meraih jas hujan berwarna kuning yang tergantung di tembok merah tanpa plesteran kemudian mengenakannya. Andai saja ia tak segera berdiri, bisa jadi malah ketiduran di sini. Padahal umumnya suasana malam disertai gerimis rintik-rintik seperti saat ini paling rawan tindak kejahatan. Tanggung jawab yang besar mengalahkan kondisi fisik dan mentalnya. Diliriknya kalender berdebu di belakang pintu. Hari ini hari Kamis tanggal 12 dan segera akan memasuki Jumat dini hari.

“ Ah…baru nyadar kalau sekarang malam Jumat, pantas orang-orang pada malas keluar rumah.” Bisik wak Asep sambil menggelengkan kepala.

Tidak jelas adakah hubungan antara malam Jumat dengan kebiasaan menghindari keluyuran malam hari. Kenyataannya hampir tiap malam Jumat orang-orang di sini lebih senang berada di rumah daripada keluyuran malam-malam. Atau barangkali mereka melakukan apa yang disebut orang dengan istilah “Sunah Rasul,”sebuah istilah yang mengacu pada kegiatan intim pasangan suami istri di malam Jumat. Tidak jelas sejak kapan istilah ini begitu popular, menjadi topik perbincangan bahkan bahan olok-olok di antara orang-orang yang telah berumah-tangga.

Tangan kanan wak Asep menjangkau sebuah senter yang tergantung di dekat kalender, setelah itu ia tutup pintu pos rapat-rapat dan menguncinya dari luar. Ia mengambil sebuah tongkat kayu pendek dan memukul kentongan kayu yang tergantung di sisi kanan depan pos roda. Suaranya menggema di tengah kebisuan malam. Sekadar menjadi pertanda bahwa di kegelapan malam ini masih ada manusia yang terjaga. Ia melangkahkan kakinya meninggalkan pos dengan perasaan gamang. Degup jantungnya semakin meningkat frekuensinya. Lolongan anjing pun masih terdengar memilukan dari sebuah tempat nun di sana. Entah apa yang membuatnya begitu. Konon kata orang tua, lolongan anjing yang tiada putus di malam hari merupakan respon alamiah apabila ia mengindera sesuatu yang tak bisa diindera manusia. Melihat kehadiran sosok gaib, misalnya. Malam ini, langkah kaki wak Asep tengah membawanya menuju pengalaman yang tak akan pernah terlupakan di sepanjang sisa hidupnya.

(Bersambung)