Setiap hari Minggu selama 2 bulan ini aku hilir mudik melintasi jalan antara Bojong Gede—Cibinong—Gandaria guna mengikuti suatu kegiatan. Kesempatan ini sekaligus aku pergunakan untuk jalan-jalan—setelah kegiatan selesai pada pukul 12 siang—dan hunting tempat-tempat bersejarah yang nyaris tak dikenal orang lagi, apalagi jalur yang aku lalui ini merupakan sepenggal jalan tua dan legendaris sebagai penghubung Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor) yang telah ada sebelum Marsekal Herman Willem Daendels memerintahkan membangun De Grote Posweg atau Jalan Raya Pos antara Anyer sampai Panarukan yang kebetulan melewati jalur ini. Sebagai jalur utama waktu itu, pastilah jalan ini menyimpan sejarah yang penting bagi perjalanan panjang negeri ini, khususnya peninggalan berupa bangunan tua bercita seni tinggi.
Aku ingat sebuah buku yang ditulis Adolf Heuken berjudul Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta yang menyebutkan sebuah rumah tuan tanah di daerah Cimanggis, Depok. Letak rumah ini berada di Km 34 Jalan Raya Bogor dari arah Jakarta, tidak jauh dari Pasar Cimanggis. Pada awalnya memang agak sulit menemukan rumah seperti yang ditulis di buku itu, karena tidak seperti bayanganku semula bahwa sebuah rumah besar dan terpandang seharusnya terletak di tepi jalan raya. Ternyata dugaanku meleset, rumah itu berjarak sekitar 1 Km dari Jalan Raya Bogor di dalam Kompleks RRI Cimanggis. Dari jalan raya, rumah tuan-tanah itu sebenarnya sudah kelihatan atapnya meskipun memerlukan kecermatan mata dalam mengamati ditambah insting, tentu saja. Hanya dengan melihat bentuk atapnya dari kejauhan, aku merasa yakin telah menemukan objek yang kucari-cari itu. Kenapa? Karena bentuk fisik atap rumah itu jauh berbeda dibandingkan atap-atap bangunan sekitarnya, selain bentuknya yang aneh —seperti segitiga yang terpancung bagian atasnya—ukurannya pun jauh lebih besar dibandingkan atap rumah lainnya.
Sebenarnya lokasi Rumah Cimanggis amat mudah dicapai dengan kendaraan bermotor roda dua, tetapi bagi kendaraan bermotor roda empat sungguh merepotkan karena pintu gerbang menuju Kompleks RRI ini sekarang telah dipasangi portal. Belakangan aku mendapat informasi dari masyarakat sekitar jika ingin melintasi portal ini kita harus mengeluarkan "uang rokok" buat penjaganya. Bagiku berjalan kaki pun tak jadi soal asal bisa mengamati rumah tuan-tanah Cimanggis itu dari dekat, sekalipun harus berada di bawah terik matahari yang saat itu berada tepat di atas kepala. Belum lagi di kanan kiri jalan hanyalah lapangan rumput minus pohon peneduh serta beberapa menara pemancar yang bertebaran di sekitarnya. Sulit membayangkan dulunya tempat ini merupakan perkebunan yang besar, dengan pohon-pohon lebat menutupi permukaan tanahnya.
Tak lama menapaki jalan beraspal yang cukup mulus, sampailah aku di depan halaman rumah tuan-tanah Cimanggis ini. Halaman rumah dipagari tembok batako dimana di beberapa sudutnya telah tertutup rumput alang-alang. Rumah Cimanggis berdiri dengan gagahnya selama beberapa abad di tempat itu, tampak besar dan kokoh meski tak menutupi kerentaannya. Atapnya yang berwarna merah terakota berupa genteng tanah liat terlihat luar biasa besar apalagi jika dibandingkan dengan atap rumah masa kini. Meskipun sepintas masih terlihat utuh tapi jika kita amati lebih teliti akan terlihat lubang menganga di sana-sini, apalagi kondisi atap yang menutupi serambi belakang rumah terlihat runtuh di beberapa bagian karena kondisi kayu yang menopangnya telah lapuk oleh air hujan.
Aku berjalan mengitari halaman rumah Cimanggis dari samping kanan rumah menuju ke halaman belakang dimana tampak semak-semak dan pepohonan tak terawat tumbuh di sekelilingnya. Tanaman-tanaman ini amat mengganggu arah pandang kita dalam mengamati bagian eksterior sehingga upayaku untuk memotret bentuk utuh rumah ini menemui kendala. Disamping itu, serambi yang mengelilinginya sekarang telah ditutup dengan batako, seng ataupun kayu di beberapa bagian secara asal-asalan hingga semakin menimbulkan kesan berantakan.
Bagian teras depan rumah ini ditopang beberapa pilar dari batu bata berbentuk silinder dan beberapa di antaranya berdiri berpasangan dekat pintu utama, semakin memberi kesan kokoh rumah ini. Bagian atas pintu utamanya berhiaskan ukiran halus bermotifkan jambangan bunga yang sekaligus berfungsi sebagai lubang ventilasi. Semua jendela di rumah ini berbentuk serupa baik yang menghadap ke luar rumah maupun yang menghubungkan antar ruangan, dengan lengkungan di bagian pucuknya dan bisa didorong ke atas. Bentuk jendela ini rupanya sangat lazim pada masa itu. Teras depan ini sekarang ditempati oleh orang yang mengaku sebagai penjaga rumah. Sangat disayangkan banyak barang rumah tangga miliknya berserakan di serambi ini sehingga menimbulkan kesan kumuh dan berantakan bahkan kusen pintunya pun telah dipaku di beberapa bagian untuk menggantung pigura.
Setelah mengobrol beberapa saat dengan penjaga itu, aku minta ijin masuk ke bagian dalam rumah untuk mengambil gambar. Kondisi di dalam ternyata tak kalah menyedihkan dibandingkan bagian luar. Lantai dengan ubin abu-abu saat ini dipenuhi puing-puing dan sampah berserakan di mana-mana. Bagian dinding dan kusen pintu/jendela tampak kusam karena diselimuti debu juga sarang labah-labah, diperparah pula dengan gafiti para vandalis. Di bagian langit-langit terlihat banyak lubang menganga, sepertinya air hujan yang masuk dari celah genting bocor berperan besar menambah laju kerusakan bagian ini.
Sebenarnya bagian interior rumah ini—terlebih di bagian ruang utama— amatlah cantik. Tembok ruangan yang tinggi serasi benar dengan bentuk jendela dan juga pintu yang menghubungkan antar ruangan. Bagian atas pintu menuju ruangan utama dihiasi ukiran bermotif figur malaikat. Kolom-kolom dindingnya pun dihias di bagian kepalanya dengan hiasan bergaya klasik serta dipermanis dengan profil. Jarak lantai dengan langit-langit yang tinggi membuat suasana ruangan terasa sejuk. Rupanya kondisi seperti ini memang telah dirancang khusus untuk rumah-rumah Eropa di daerah tropis. Orang Belanda menyebut gaya rumah seperti ini dengan Indisch Woonhuis yang berarti Rumah Tinggal Hindia (Belanda). Aku rasa ruangan ini dahulu pasti dipenuhi perabotan artistik yang mahal harganya. Sayangnya aku tidak bisa berlama-lama berada di ruangan ini dikarenakan atmosfir yang "tak nyaman" ditambah betapa repotnya harus melewati tumpukan puing dalam kondisi cahaya temaram, meskipun saat itu masih siang bolong.
Di dalam bukunya Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Adolf Heuken menuturkan bahwa rumah ini dibangun oleh David J. Smith antara tahun 1775 sampai tahun 1778 untuk menggantikan sebuah pesanggrahan sederhana. Pemiliknya adalah janda dari Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, seorang wanita kaya raya. Setelah wanita ini meninggal pada tahun 1787, Smith mewarisi rumah beserta perabotannya dan sejumlah perkebunan luas di sekitarnya. Akibat dari sebuah usaha spekulasi yang meleset akhirnya Smith harus rela melepaskan rumah beserta tanah perkebunan guna melunasi hutang-hutangnya itu. Rumah ini pun selanjutnya berganti-ganti pemilik. Rumah Cimanggis pernah mengalami kerusakan parah ketika terjadi gempa bumi dahsyat pada tahun 1834. Bukan hanya rumah ini yang mengalami kerusakan, tetapi juga rumah tuan tanah yang lain di sekitarnya termasuk Pondok Cina di Depok bahkan Istana Buitenzorg pun tak luput dari kerusakan.
Beberapa puluh tahun lalu Rumah Cimanggis ini pernah dijadikan rumah tinggal karyawan RRI, entah kenapa sekarang ditinggalkan kosong begitu saja. Melihat kondisinya sekarang aku kuatir ia akan bernasib sama seperti rumah-rumah tuan-tanah lainnya yang bertebaran di pelosok pinggiran Jakarta. Sebagian ada yang tinggal nama akibat digusur modernisasi kota seperti yang terjadi pada Pondok Gede atau Groeneveld di Tanjung Timur yang kini tinggal puing-puing belaka karena kebakaran hebat pada tahun 1985.
Selama berkeliling aku belum melihat papan pengumuman yang menyatakan gedung ini dilindungi, sehingga ada kemungkinan suatu saat akan begitu gampangnya digusur oleh pemilik modal. Sungguh sayang sebuah rumah tuan-tanah yang kebetulan saat ini masih tegak berdiri meskipun dengan kondisi compang-camping kelak di kemudian hari hanya tinggal nama, padahal tempat ini tentu menyimpan cerita masa lalu yang bernilai sejarah. Cerita tentang tuan-tanah yang rakus dan gemar memeras petani sekitarnya juga tentang nasib para budak yang terampas hak-hak asasinya. Semoga pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kelestarian rumah tuan-tanah Cimanggis ini segera tersadarkan dan mengambil tindakan bijaksana.
kenapa ya masih banyak bangunan bersejarah yang bernasib sama, memprihatinkan !!!
ReplyDeleteperhatian pemerintah tentang bangunan bersejarah memang amat menyedihkan, Kang... gak tahu kapan ya pihak2 yang bertanggung jawab mulai sadar?
ReplyDelete