Sepedaku bergerak seiring kayuhan kakiku pada pedal. Ban bergerigi menggilas jalanan desa yang telanjang tanpa lapisan semen apalagi aspal hot mix. Hanya tanah merah dan butiran kerikil yang melapisinya. Bunyi gemeretak terdengar ketika ban beradu dengan butiran kerikil, sebagian melejit tanpa terkendali.
Di depanku si sulung lima tahun usianya duduk di kursi plastik yang didisain khusus untuk balita, terlihat gembira. Wajahnya berseri seperti sinar Matahari pagi yang menembus sela rumpun bambu, menciptakan bayangan teduh di bawahnya. Kolam ikan, dengan pancuran bambu memancarkan air bening. Sungai kecil yang selalu setia mengairi sawah di sekitarnya begitu asing di matanya yang bening. Tapi ia begitu menikmati perjalanan ini, tak peduli badannya bergoncang karena jalanan yang tak rata bersama sepeda kreditan dari kantor dengan angsuran yang lama lunasnya.
Itu dulu, lebih dari lima belas tahun lalu, namun kenangannya tetap membekas meskipun belasan tahun telah terlewati. Sulungku kini telah menjelma jadi mahasiswa semester 5 yang tengah sibuk dengan dunia kampusnya. Sepedaku pun telah lama teronggok di sebuah sudut rumahku menjelma besi tua, sedangkan bangku plastik kecil itu entah kemana perginya, tak ketahuan rimbanya.
Sekarang jalanan desa yang dulu sepi masih terentang sepanjang tiga kilometer. Menghubungkan dua kecamatan, Tajurhalang dengan Bojonggede. Hanya saja wajahnya kian berubah. Kini berlapis semen yang sebagian sudah mengelupas, menyisakan lubang dan butiran koral. Masih saja lengang meskipun sebagian orang lebih senang melewatinya karena jarak yang relatif pendek dibandingkan jalan utama yang terentang sejauh delapan kilometer.
Jalan ini juga yang setiap hari aku lewati dengan motor saat pagi berangkat kerja dan malam ketika pulang. Masih sepi, masih menyisakan kerindangan dan kesejukan udara pagi. Masih pula terdengar suara binatang malam ditingkahi gemerisik daun bambu saat Matahari tenggelam di balik peraduannya. Namun sampai kapan semuanya akan bertahan? Manusia beranak pinak semakin banyak. Pepohonan ditebangi. Jengkal demi jengkal luas tanah berkurang untuk hunian. Tidak berlebihan bila sebentar lagi jalanan desa yang lengang ini pun tinggal menyisakan cerita.